 
                                    Jambi, 13 Oktober 2025 – Pemerintah Provinsi Jambi kembali menegaskan komitmennya dalam memperkuat peran Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha (TJSLBU/CSR) sebagai instrumen penting dalam pembangunan berkelanjutan dan penurunan emisi. Melalui kegiatan yang difasilitasi oleh Bappeda Provinsi Jambi, berbagai pemangku kepentingan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga sektor swasta berkumpul untuk menyelaraskan arah program CSR dengan prioritas pembangunan daerah.
Dalam sambutannya, Sekretaris Bappeda Provinsi Jambi menyoroti pentingnya peningkatan partisipasi sektor swasta dalam menghasilkan Emission Reduction (ER) dalam kerangka program BioCF ISFL tahun 2025. Sejak memasuki fase Pre-Investment di tahun 2022, Provinsi Jambi telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 82,38 miliar dengan dukungan dari lima perangkat daerah utama: Bappeda, Dinas TPHP, Dinas Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan.
Pertemuan ini secara khusus membahas implementasi program TJSLBU/CSR yang mendukung penurunan emisi dan menampilkan praktik-praktik terbaik (best practices) dalam pengelolaan dana CSR di berbagai daerah. Tujuan utamanya adalah membangun sinergi dan sinkronisasi antara pemerintah dan pelaku usaha agar CSR menjadi bagian integral dalam pembangunan daerah.
Peran Strategis Dinas Sosial dan Forum TJSLBU
Kepala Dinas Sosial Dukcapil Provinsi Jambi, yang diwakili oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial, menegaskan peran Dinas Sosial dalam melakukan pembinaan, pengawasan, serta pengembangan kapasitas badan usaha dalam melaksanakan TJSLBU. Berdasarkan Permensos Nomor 9 Tahun 2020, setiap badan usaha wajib melaporkan kegiatan CSR secara berkala kepada pemerintah, dengan laporan berisi informasi program, anggaran, dan dokumentasi kegiatan.
Pada tahun 2024, berbagai inisiatif telah dijalankan dengan pembiayaan CSR, seperti perbaikan infrastruktur jalan dan pengadaan alat transportasi untuk operasional dinas, menunjukkan kontribusi nyata dunia usaha terhadap pembangunan daerah. Forum TJSLBU Provinsi Jambi juga tengah mengembangkan sistem berbasis web untuk penguatan database dan peningkatan profesionalitas pengurus forum hingga tahun 2027.
Keterlibatan Aktif Kabupaten/Kota
Paparan dari Bappeda Kabupaten Tanjung Jabung Barat mengungkapkan bahwa pelaksanaan TJSLP (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan) telah menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah. Kendati belum seluruhnya terkoordinasi secara optimal, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya agar perusahaan lebih terlibat secara aktif dan terarah. Mulai dari proses musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes) hingga pengusulan program prioritas, perusahaan diarahkan untuk mendanai kegiatan yang tidak dapat ditanggung APBD.
Bappeda Tanjung Jabung Timur juga menekankan pentingnya sinergi antara CSR dan program daerah. Kebijakan CSR mereka, yang tertuang dalam Perda Nomor 13 Tahun 2013, telah diarahkan untuk menyentuh kebutuhan nyata masyarakat, dengan fokus pada penguatan ekonomi, sosial budaya, hingga pembangunan infrastruktur desa.
Diskusi: Tantangan dan Rekomendasi
Forum diskusi yang berlangsung memperlihatkan kesamaan tantangan di berbagai kabupaten/kota, terutama dalam hal pelaporan dan koordinasi dengan perusahaan. Beberapa daerah, seperti Sarolangun dan Batanghari, mengeluhkan kurangnya laporan dari badan usaha serta rendahnya kesadaran sektor swasta dalam mendukung program pemerintah.
Sebagai respons, beberapa strategi dari daerah lain dipaparkan. Kabupaten Tanjung Jabung Barat, misalnya, mendorong komunikasi intensif dan memberikan penghargaan tahunan kepada perusahaan aktif sebagai bentuk apresiasi. Sementara di Tanjung Jabung Timur, komunikasi kepala daerah langsung dengan pimpinan perusahaan dinilai efektif dalam meningkatkan partisipasi.
Langkah ke Depan: Peraturan dan Standarisasi
Sebagai tindak lanjut, Bappeda Provinsi Jambi berencana menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai turunan dari Perda CSR Provinsi. Pergub ini akan mengatur mekanisme koordinasi, peran tim fasilitasi, dan sistem pelaporan yang terintegrasi. Selain itu, akan dilakukan perombakan manajemen Forum CSR Provinsi Jambi untuk meningkatkan efektivitas koordinasi.
Dinas Sosial Provinsi Jambi juga diberi mandat untuk memperkuat pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan CSR di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah daerah pun diminta untuk menyesuaikan peraturan mereka agar sejalan dengan regulasi nasional, khususnya Permensos Nomor 9 Tahun 2020.
Fokus 2025: Peningkatan Sosial dan Lingkungan
Provinsi Jambi berkomitmen untuk mengarahkan dana CSR kepada dua sasaran utama: penurunan emisi karbon dan peningkatan kesejahteraan sosial. Terdapat 12 kategori kelompok masyarakat yang menjadi prioritas penerima manfaat, mulai dari anak-anak rentan, lansia terlantar, penyandang disabilitas, korban bencana, hingga fakir miskin dan komunitas adat terpencil.
CSR tidak lagi sekadar formalitas perusahaan, melainkan menjadi bagian strategis dari pembangunan berkelanjutan. Melalui sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha, Provinsi Jambi berharap dapat mewujudkan pembangunan inklusif, hijau, dan berkelanjutan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
Penutup
Momentum pertemuan ini menjadi langkah awal untuk menyatukan persepsi dan langkah konkret dalam mengintegrasikan CSR ke dalam agenda pembangunan daerah. Sinergi lintas sektor dan regulasi yang kuat diharapkan mampu menjadikan Jambi sebagai contoh implementasi TJSLBU yang sukses dan berkelanjutan di Indonesia.
 
                                    Jambi, 23 September 2025 — Pemerintah Provinsi Jambi melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) bersama dengan berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan lembaga pendukung terus mengupayakan percepatan pelaksanaan program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF-ISFL) yang akan mencapai tahap kritis pada tahun 2025 dan 2026. Dalam rapat koordinasi lintas sektor yang melibatkan berbagai dinas teknis dan mitra, Kepala Bappeda Provinsi Jambi, Ir. Agus Sunaryo, M.Si, menegaskan perlunya langkah percepatan dan sinkronisasi antar OPD. “Proyeksi pelaksanaan tahun 2025 baru sampai bulan Oktober. Beberapa kegiatan belum terlaksana karena masih menunggu perubahan APBD,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa untuk tahun 2026, pelaksanaan hanya berlangsung hingga Mei, dengan bulan Juni sudah memasuki proses reimburse. Selain itu, terdapat perbedaan signifikan dalam pagu anggaran. Dalam dokumen RKA, hanya tercantum angka Rp4 miliar, sementara hasil koordinasi dengan KLHK dan World Bank menunjukkan potensi pagu hingga Rp6 miliar. “Hal ini membutuhkan tindak lanjut berupa kesepakatan LEMTARA dan alokasi kinerja,” tegas Agus.
Masukan dari OPD Teknis: Tantangan Lapangan
Perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Adi, melaporkan bahwa kegiatan monitoring & evaluation (monev) untuk safeguard menjadi tantangan tersendiri. “Banyak kegiatan turun ke lapangan, sementara penggunaan anggaran untuk sewa kendaraan menjadi temuan dalam pemeriksaan,” ungkapnya. Selain itu, DLH juga bertanggung jawab atas pelaksanaan pengakuan wilayah adat dan konsultasi publik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dari sisi Dinas Kehutanan, permasalahan efisiensi anggaran menyebabkan terjadinya pergeseran pada perjalanan dinas. Pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga menyuarakan kekhawatiran mereka. “KPH takut jika program sudah berjalan, ternyata tidak bisa direimburse,” ujar perwakilan dinas. Dinas Perkebunan mencatat bahwa proyeksi anggaran tahun 2025 mencapai sekitar Rp985 juta yang dialokasikan untuk lima kegiatan prioritas. Meski angkanya tidak besar, kejelasan dan ketepatan waktu pelaksanaan tetap menjadi perhatian utama.
Hambatan Regulasi dan Solusi Administratif
Menurut Agus Sunardi dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD), dinamika politik di tingkat Badan Anggaran (Banggar) menjadi salah satu hambatan utama. Meski demikian, ia optimis bahwa finalisasi APBD dapat dilakukan pada 24 September, dengan ketok palu pengesahan dijadwalkan pada 26 September. “Setelah pengesahan, tiga hari kemudian dokumen akan dikirim ke Kemendagri. Kami perkirakan pada 27-31 Oktober anggaran perubahan sudah bisa dieksekusi,” jelas Agus. Ia juga menegaskan bahwa proses reimburse memiliki tenggat waktu satu bulan dan diharapkan proses verifikasi selesai pada Desember. Terkait permasalahan penggunaan kendaraan dinas, BPKPD mengingatkan bahwa berdasarkan peraturan presiden terbaru, hanya kepala daerah dan kepala dinas yang diperbolehkan menggunakan kendaraan sewa untuk kegiatan dinas. Untuk menghindari temuan audit, disarankan adanya manajemen kendaraan operasional yang efisien antar OPD. Terkait penambahan anggaran dari Rp4 miliar menjadi Rp6 miliar, Agus menyampaikan bahwa Rp2 miliar tambahan tersebut dapat segera didistribusikan ke SKPD teknis. “Kami juga akan mengupayakan agar temuan dari DLH bisa dikategorikan sebagai temuan administratif, bukan pelanggaran berat,” tambahnya.
Rekomendasi dan Langkah Strategis
Rapat koordinasi juga menghasilkan sejumlah rekomendasi penting:
 
                                    Jambi – Provinsi Jambi menjadi salah satu daerah yang mendapatkan Dana Hibah BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL) dari Bank Dunia, menyusul Kalimantan Timur sebagai provinsi pertama penerima dana serupa. Program ini merupakan upaya global untuk mendukung pengurangan emisi berbasis lanskap, pelestarian hutan, serta pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Menurut Ir. H. Sepdinal, M.E, Ketua SNPMU BioCF ISFL Provinsi Jambi, seluruh entitas yang memiliki legalitas dan bergerak di kawasan hutan berpeluang menerima dana berbasis kinerja (Result-Based Payment atau RBP). Namun, posisi Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam skema ini masih memerlukan perhatian khusus, terutama karena sebagian besar belum memiliki dasar legalitas formal atau Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah.
“KAT bisa masuk dalam kelompok kinerja, tapi karena belum berlegalitas, maka penyaluran dananya tidak bisa langsung ke komunitas. Mereka perlu bergabung dengan pengelola kawasan seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) atau Taman Nasional (TN),” jelas Sepdinal.
Dalam kondisi seperti itu, KPH atau TN berkewajiban membantu mendanai dan membina kegiatan KAT yang berada di wilayahnya. Sementara bagi KAT yang tinggal di luar kawasan hutan, peluang bantuan lebih mengarah pada alokasi sosial ekonomi berbasis desa.
Yunasri Basri, dari bidang Safeguard BioCF ISFL Provinsi Jambi, menjelaskan bahwa pelaksanaan BioCF harus mengacu pada Environmental and Social Standards Bank Dunia, yang meliputi penilaian dampak sosial-lingkungan, konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan komunitas adat, serta pelestarian warisan budaya.
Khusus untuk KAT, dasar hukum nasional yang digunakan adalah Permensos No. 9 Tahun 2012 dan Permensos No. 12 Tahun 2015, yang mengelompokkan KAT menjadi tiga kategori:
Kategori 1: komunitas pemburu dan peramu yang hidup berpindah dan minim interaksi dengan dunia luar.
Kategori 2: peladang berpindah yang sudah memiliki interaksi terbatas dengan masyarakat sekitar.
Kategori 3: masyarakat yang sudah menetap dan berprofesi sebagai petani, nelayan, atau berkebun.
Namun, di lapangan masih ditemukan berbagai kendala, mulai dari minimnya data akurat, belum adanya skema penyaluran manfaat yang jelas, hingga ketidakpastian wilayah kelola.
Setiap kabupaten di Jambi melaporkan kondisi KAT yang beragam.
Kabupaten Merangin mencatat 13 kelompok KAT (Suku Anak Dalam/SAD) dengan total 1.267 jiwa. Sebagian besar masih hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tingkat legalitas yang rendah.
Kabupaten Sarolangun memiliki 507 KK KAT yang sebagian besar sudah menetap dan memiliki data kependudukan. Bahkan, beberapa anggota SAD telah bekerja di perkebunan, dan ada yang menjadi anggota TNI maupun Polri.
Kabupaten Tebo memiliki 1.146 jiwa KAT yang tersebar di sembilan desa. Di sana juga terdapat Suku Talang Mamak, yang sudah menetap dan masuk kategori 3.
Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci masih dalam proses klarifikasi, karena sebagian besar masyarakat adatnya adalah petani di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Kabupaten Batanghari, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur juga memiliki kelompok KAT dengan kondisi yang berbeda-beda, dari yang masih nomaden hingga yang sudah mandiri secara ekonomi.
Di Kabupaten Muaro Jambi, sebanyak 2.473 jiwa KAT dilaporkan telah menetap dan memiliki pekerjaan tetap.
Selain pemerintah, NGO seperti KKI WARSI, Pundi Sumatera, dan Gita Buana turut berperan aktif dalam mendampingi komunitas-komunitas ini, baik dalam pemberdayaan ekonomi maupun advokasi hak masyarakat adat.
Hampir semua peserta diskusi menegaskan bahwa Dinas Sosial (Dinsos) menjadi wali data utama KAT di setiap kabupaten/kota. Dinsos bertanggung jawab melakukan pendataan, kategorisasi, dan koordinasi dengan KPH, Taman Nasional, serta lembaga pendamping lainnya.
Yunasri Basri menegaskan,
“SNPMU hanya menerima data yang diberikan oleh Dinsos. Kami tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi atau mengubah data tersebut.”
Dinsos Provinsi Jambi akan bertugas mengoordinasikan seluruh data dari kabupaten/kota, sementara Dinsos Kabupaten menjadi pelaksana lapangan yang berinteraksi langsung dengan komunitas.
Dari berbagai diskusi yang dilakukan, sejumlah tantangan utama muncul:
Belum adanya legalitas resmi (SK Gubernur/Bupati) bagi sebagian besar kelompok KAT.
Data yang belum lengkap dan belum terpisah berdasarkan kategori serta lokasi (dalam atau luar kawasan hutan).
Terbatasnya lahan penghidupan bagi KAT, terutama di wilayah yang seluruhnya sudah berstatus kawasan hutan.
Namun, di tengah tantangan itu, muncul pula berbagai kisah inspiratif. Beberapa anggota SAD di Merangin telah melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Di Tebo, KAT Talang Mamak mulai bekerja sama dengan perusahaan dan NGO dalam menjaga hutan dan mengembangkan usaha ekonomi.
Rapat koordinasi ini menegaskan bahwa pengkategorian KAT tetap berpedoman pada Permensos No. 9 Tahun 2012, dan Dinas Sosial menjadi penanggung jawab utama data. Data perlu diperbarui dan dipisahkan berdasarkan kategori dan lokasi tempat tinggal.
Selain itu, akan dilakukan pertemuan lanjutan dengan melibatkan KPH dan Taman Nasional di masing-masing kabupaten untuk memastikan validasi data KAT. Harapannya, seluruh KAT di Provinsi Jambi dapat terdata dengan baik dan memperoleh manfaat dari program BioCF secara adil dan berkelanjutan.
Penutup
Inisiatif pendataan dan penguatan peran KAT dalam program BioCF ISFL bukan hanya soal menyalurkan bantuan, tetapi juga memastikan bahwa komunitas adat dan masyarakat hutan mendapatkan tempat yang setara dalam pembangunan berkelanjutan.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga konservasi, dan organisasi masyarakat sipil, Jambi berupaya menjadikan program BioCF bukan sekadar proyek lingkungan, tetapi juga wujud nyata keadilan sosial bagi masyarakat adat yang telah lama menjaga hutan.
 
                                    Tangerang, 12 Juni 2025 – Komitmen Provinsi Jambi dalam aksi iklim kini memasuki tonggak penting dengan selesainya dokumen Environmental and Social Due Diligence (ESDD) untuk Jambi Emission Reduction Program (JERP). Dokumen ini menjadi salah satu prasyarat utama bagi Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Jambi untuk mengakses pembayaran berbasis hasil (Result-Based Payment/RBP) dari World Bank dalam skema BioCarbon Fund (BioCF) melalui Program Program Pengurangan Emisi Jambi (JERP). Lebih dari itu, dokumen ini menegaskan bahwa upaya pengurangan emisi karbon di Provinsi Jambi dilaksanakan secara adil, transparan, dan bertanggung jawab terhadap aspek sosial dan lingkungan. 
ESDD bukan hanya soal angka emisi—ia bicara tentang hutan, masyarakat adat, petani kecil, dan masa depan ekologis di Jambi yang keberlanjutan. Dokumen ini bukan sekadar syarat administratif. Ia menjadi bukti tanggung jawab provinsi terhadap risiko sosial dan lingkungan, serta pijakan penting menuju transisi hijau yang adil. 
Demikian hasil diskusi yang memfinalkan rancangan dokumen ESDD yang dilakukan di Tangerang, 11-12 Juni. Penyusunan dilakukan oleh pemerintah daerah Jambi, Tim Safeguard nasional dan subnasional, serta konsultan independen. Kegiatan ini juga diikuti Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK, didampingi Direktur Mobilisasi Sumber Daya Pengendalian Perubahan Iklim,  Ketua Sub Nasional Project Management Unit (PMU) Jambi.
Apa itu ESDD dan Apa Fungsinya?
Environmental and Social Due Diligence (ESDD) adalah dokumen penilaian yang bertujuan mengevaluasi kesesuaian implementasi program penurunan emisi dengan standar perlindungan lingkungan dan sosial. Dokumen ini berfungsi untuk: (1) menilai kepatuhan terhadap kerangka Environmental and Social Management Framework (ESMF) dan 10 standar safeguard Bank Dunia (ESS1–ESS10), (2) mengukur efektivitas pengelolaan risiko di lapangan, (3) mengidentifikasi kesenjangan sistemik dalam pelaksanaan program, dan (4) menentukan kesiapan untuk menerima pembayaran berbasis hasil (RBP). ESDD menjadi alat penting untuk memastikan akuntabilitas, transparansi, dan inklusivitas dalam agenda iklim.
Proses Penyusunan Dokumen ESDD
Penyusunan dokumen ESDD JERP telah melalui serangkaian tahapan teknis dan konsultatif, dimulai dari pertemuan awal pada 18–19 Maret 2025, yang kemudian diperkuat dalam sesi lanjutan pada 14–15 Mei 2025. Proses ini melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai sektor di tingkat nasional, provinsi, hingga tapak. Due diligence ini bukan untuk pemenuhan administratif, tetapi adalah bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia terhadap dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari JERP. Oleh karena itu, kegiatan ini perlu menyisir data kegiatan secara teliti dan memilih 14 kegiatan sampling yang mewakili keseluruhan pendekatan. 
Dokumen ini disusun berdasarkan tiga komponen utama dalam Program JERP yang tertuang dokumen Emission Reduction Program Document (ERPD), yaitu: penguatan kelembagaan dan kebijakan tata kelola hutan/lahan; pengelolaan hutan dan lahan berkelanjutan serta penguatan rantai nilai rendah emisi; serta koordinasi program, pelaporan safeguard, dan sistem pengaduan (FGRM). Evaluasi terhadap ketiga komponen ini dilakukan melalui pendekatan retrospektif, yang mencakup telaah dokumen, survei elektronik, diskusi tematik, dan konsultasi dengan lebih dari 4.300 pemangku kepentingan di seluruh 11 kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Setiap komponen dievaluasi berdasarkan lima aspek utama: proses manajemen risiko lingkungan dan sosial, mekanisme persetujuan, pelibatan pemangku kepentingan, alokasi anggaran, dan keterbukaan informasi.
Instrumen Safeguard, FPIC, dan FGRM
ESDD juga dilengkapi dengan mekanisme Feedback and Grievance Redress Mechanism (FGRM) yang memungkinkan masyarakat, terutama kelompok rentan, perempuan, dan komunitas adat dapat menyampaikan keluhan secara transparan dan aman. FGRM ini menjadi instrumen penting dalam memastikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dijalankan secara menyeluruh. Penerapan FPIC telah dilakukan di 230 desa yang tersebar di 10 kabupaten/kota di Provinsi Jambi selama periode 2022–2024, dan menjadi landasan penting dalam pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat. Di sisi konservasi, kegiatan monitoring kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) sudah dilakukan lewat patroli rutin dan pemasangan kamera trap. Ke depan, kegiatan ini akan diperkuat menjadi sistem pemantauan jangka panjang yang lebih efektif dan terstruktur. Sangat penting untuk melihat ESDD sebagai instrumen untuk memperbaiki, bukan semata mengevaluasi. Kita tidak bisa bicara keberhasilan iklim tanpa bicara keadilan sosial.
ESDD hadir sebagai penjamin bahwa tidak ada satu pihak pun yang dikorbankan dalam agenda dekarbonisasi. Penguatan Sinergi REDD+ dan Green Growth di Jambi Sebagai bagian dari arsitektur REDD+ nasional, pelaksanaan JERP memperlihatkan bagaimana pendekatan berbasis yurisdiksi dapat memberikan dampak nyata jika didukung oleh kelembagaan yang solid dan keterlibatan masyarakat yang bermakna. Program ini juga menunjukkan bahwa mekanisme safeguard yang kuat tidak hanya penting untuk memenuhi persyaratan donor, tetapi juga menjadi alat penting untuk membangun kepercayaan antara pemerintah, masyarakat adat, dan mitra pembangunan. 
Di sisi lain, JERP juga sejalan dengan arah pembangunan rendah karbon Provinsi Jambi yang telah dirumuskan dalam Green Growth Plan (GGP). Kolaborasi antara pemerintah daerah, mitra internasional, dan aktor lokal dalam pelaksanaan JERP memperkuat posisi GGP sebagai kerangka pembangunan berkelanjutan di tingkat provinsi. Dengan sinergi ini, Jambi tidak hanya memperjuangkan target emisi, tetapi juga memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan dapat berjalan seiring.
Catatan Redaksi
Finalisasi ESDD di Provinsi Jambi menandai bukan hanya tonggak administratif, tetapi juga kemajuan substansial dalam pelaksanaan prinsip-prinsip safeguard REDD+ di Indonesia. Dokumen ini mencerminkan bagaimana kebijakan iklim global dapat diterjemahkan secara konkret dan operasional di tingkat subnasional — dengan menempatkan hak masyarakat adat, pelibatan kelompok rentan, dan tata kelola partisipatif sebagai fondasi utama.
Keberhasilan ini menjadi model pembelajaran nasional yang menunjukkan bahwa program penurunan emisi karbon tidak hanya soal angka, tetapi tentang menjamin keberlanjutan sosial dan lingkungan secara seimbang. Dengan sistem pengaduan yang berjalan, pengakuan hukum adat yang diperkuat, dan peran aktif pemangku kepentingan lokal, Jambi kini menjadi salah satu contoh paling nyata tentang bagaimana keadilan sosial dapat menjadi inti dari aksi iklim. Inilah bentuk transisi hijau yang bukan hanya efektif, tetapi juga adil.
 
 
                                    Muaro Jambi – Di tengah geliat pembangunan pertanian berkelanjutan, Desa Nyogan di Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi, menjadi salah satu titik terang dalam upaya peningkatan produktivitas areal tanaman rakyat. Melalui program dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan (TPHP) Provinsi Jambi, Kelompok Tani Karya Abadi mendapatkan dukungan nyata untuk meningkatkan kapasitasnya dalam bidang pengolahan pakan ternak dan kompos.
Pelatihan dan Bantuan Peralatan: Awal PerubahanPada tahun anggaran 2024, Dinas TPHP menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi para anggota Kelompok Tani Karya Abadi. Pelatihan ini tidak hanya memberi pengetahuan, tetapi juga keterampilan praktis tentang cara mengolah pakan ternak menjadi silase, serta pemanfaatan limbah peternakan dan perkebunan untuk dijadikan kompos organik.
Tak hanya pelatihan, kelompok ini juga mendapatkan bantuan sarana dan prasarana, berupa mesin granulator, mesin kultivator, bibit hijauan pakan ternak seperti odot dan indigofera, serta berbagai peralatan pendukung lainnya. Dengan dukungan ini, kelompok tani mulai memproduksi pakan dan kompos untuk kebutuhan sendiri dan lingkungan sekitar.
Dari Limbah Menjadi Pupuk: Inovasi di Tengah KeterbatasanSetelah mengikuti bimtek, anggota kelompok telah mampu mengolah limbah peternakan (kotoran, urin, sisa pakan) serta limbah perkebunan (pelepah dan limbah sawit) secara mandiri menjadi pupuk kompos dan hijauan untuk ternak. Produksi kompos memang masih berskala kecil, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan kelompok dan dijual dalam jumlah terbatas ke masyarakat desa.
Menariknya, kualitas kompos yang dihasilkan telah diuji di laboratorium tanah BSIP Kementerian Pertanian Jambi. Hasilnya cukup baik, meskipun ditemukan bahwa kadar unsur Nitrogen (N) masih rendah — padahal unsur ini sangat penting bagi pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang banyak dibudidayakan di daerah tersebut.
Tantangan di Lapangan: Penyakit Ternak dan Kurangnya Bahan BakuMeski telah menunjukkan kemajuan, perjalanan Kelompok Tani Karya Abadi tidak luput dari hambatan. Salah satu masalah serius adalah berkurangnya populasi ternak. Dari semula 12 ekor, kini hanya tersisa dua. Penyakit seperti scabies dan jembrana menjadi penyebab utama kematian ternak.
Selain itu, tidak adanya kandang permanen di desa sekitar membuat proses pengumpulan kotoran ternak untuk bahan kompos menjadi sulit. Tanpa pasokan limbah yang memadai, produksi kompos pun terhambat.
Sebagai solusi, kelompok mencoba berinovasi dengan menggunakan solid limbah pabrik sebagai bahan baku alternatif. Metode ini telah dilakukan dua kali, namun menghadapi tantangan dalam hal mobilisasi pelepah sawit yang membutuhkan sarana angkut yang layak.
Bibit Tidak Tumbuh Optimal: Musim Kemarau Jadi PenghalangUpaya lain untuk mendukung pembuatan pakan ternak seperti penanaman rumput odot dan indigofera juga belum optimal. Bantuan bibit yang diberikan saat musim kemarau menyebabkan tingkat keberhasilan tumbuh sangat rendah — hanya sekitar 30% untuk odot, sementara indigofera hampir seluruhnya mengering.
Langkah ke Depan: Perlu Dukungan LanjutanMeski menghadapi sejumlah kendala, semangat para petani di Desa Nyogan tetap tinggi. Mereka telah menunjukkan bahwa dengan pelatihan yang tepat dan alat yang memadai, pengolahan limbah bisa menjadi sumber daya produktif yang menopang kegiatan pertanian dan peternakan lokal.
Namun untuk menjaga keberlanjutan, perlu dukungan tambahan berupa:
Penanganan kesehatan ternak secara preventif,
Bantuan kandang kolektif untuk memudahkan pengumpulan limbah,
Perbaikan waktu distribusi bibit sesuai musim tanam,
Serta dukungan logistik untuk mobilisasi bahan baku.
Desa Nyogan adalah bukti bahwa ketika petani dibekali pengetahuan, alat, dan pendampingan, mereka bisa menjadi agen perubahan untuk pertanian berkelanjutan — meskipun jalan yang mereka lalui masih penuh tantangan.
 
                                    Bio Carbon Fund - ISFL Jambi - Gubernur Jambi Al Haris menegaskan pentingnya sinkronisasi program antara pemerintah pusat dan daerah agar melakukan penajaman, penyelarasan program pusat dan program daerah dapat searah dalam Pembangunan. Penegasan tersebut disampaikannya saat menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi Tahun 2025-2029, bertempat di Swis Bell Hotel, Kota Jambi, Rabu (21/05/2025).
Sebelum Musrenbang ini dimulai, Gubernur Al Haris mengecek langsung satu persatu kehadiran bupati/wali kota dan langsung memberikan teguran keras kepada bupati yang tidak hadir dan hanya mengutus perwakilannya saja. Menurut Gubernur Al Haris, karena kegiatan Musrenbang ini amat penting, maka paling tidak bupati/wali kota yang berhalangan hadir dapat mengutus wakil bupati/wakil wali kota.
“Musrenbang ini sangat penting untuk melakukan sinkronisasi kegiatan program kerja kabupaten hingga pusat agar bisa sejalan. Karena Pemerintah membuat Pilkada serentak untuk menyelaraskan program kabupaten, provinsi dan nasional,” ucap Gubernur Al Haris.
Gubernur Al Haris mengemukakan, salah satu tahapan penyusunan RPJMD yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD dan RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD dan RKPD adalah Musrenbang RPJMD.
“Musrenbang RPJMD Tahun 2025-2029 adalah momentum yang penting bagi pembangunan Provinsi Jambi lima tahun kedepan, karena menjadi media untuk melakukan penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, dan program pembangunan daerah yang telah dirumuskan dalam rancangan awal RPJMD,” ungkap Gubernur Al Haris.
Pada kesempatan tersebut Gubernur Al Haris memaparkan kondisi makro Provinsi Jambi. Pada Tahun 2024 ekonomi Jambi tumbuh sebesar 4,51 persen, dan ditengah ketidakpastian global, ekonomi Jambi tetap tumbuh cukup baik pada Triwulan I 2025 sebesar 4,55 persen dibanding Triwulan I 2024 (year on year). Pada triwulan ini, pertumbuhan terjadi pada seluruh lapangan usaha, kecuali pada lapangan usaha konstruksi yang terkontraksi sebesar 0,83 persen. Sedangkan struktur PDRB Provinsi Jambi tidak menunjukkan perubahan berarti, masih didominasi oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 34,11 persen, serta lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebesar 13,83 persen.
“Tingkat Pengangguran Terbuka kondisi Februari 2025 berada pada 4,48 persen atau sama dengan kondisi Agustus 2024. Meskipun demikian, jumlah penduduk yang bekerja bertambah sebanyak 26,3 ribu orang dibanding Februari 2024 atau meningkat 1,48 persen,” papar Gubernur Al Haris.
“Untuk persentase penduduk miskin, kita berhasil menurunkan dari 7,58 persen pada Maret 2023 menjadi 7,26 persen pada September 2024. Perbaikan pada sebagian besar indikator makro tersebut tidak terlepas dari keberhasilan Provinsi Jambi dalam mengendalikan tingkat inflasi pada kisaran 1,43 persen pada Tahun 2024 yang lalu dan inflasi hingga April 2025 sebesar 2,1 persen (year to date),” lanjutnya.
Gubernur Al Haris, mengacu pada isu strategis dan Visi JAMBI MANTAP Berdaya Saing dan Berkelanjutan Tahun 2029 di bawah Ridho Allah SWT, terdapat tiga misi yang akan dilaksanakan. “Ada tiga misi yang akan dilaksanakan, (1) Memantapkan Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Efisien, (2) Memantapkan Daya Saing Daerah dan Produktivitas Bidang Pertanian, Perdagangan, Industri dan Pariwisata, serta (3) memantapkan keberlanjutan pembangunan dan kualitas sumber daya manusia,” kata Gubernur Al Haris.
“Misi pertama memiliki tujuan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan adaptif. Sedangkan Misi kedua, memiliki tujuan meningkatnya daya saing daerah dengan mengoptimalkan sektor unggulan. Sementara Misi ketiga memiliki dua tujuan, yaitu pertama terwujudnya sistem perekonomian yang rendah karbon, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan inklusif secara sosial, serta tujuan kedua terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, berbudaya dan berkesetaraan gender,” sambungnya.
Lebih lanjut Gubernur Al Haris juga menuturkan, kedepan ini ada 12 program prioritas yang akan dilaksanakan lima tahun kedepan, yaitu (1) Reformasi Birokrasi, (2) Digitalisasi pelayanan public, (3) Peningkatan Kapasitas Fiskal Daerah, (4) Pengembangan Kawasan dan Infrastruktur Sektor Pertanian, Perdagangan, Industri dan Pariwisata, (5) Pengembangan Ekosistem Start Up, Inovasi Teknologi dan Transformasi Digital Produk UMKM dan Koperasi, (6) Peningkatan Produktivitas Lahan Pertanian Mendukung Lumbung Pangan Desa dan Daerah, (7) Pengembangan Wilayah Strategis Sengeti Tungkal Sabak atau SENTUSA sebagai Kawasan Cepat Tumbuh, (8) Fasilitasi Percepatan Ketahanan Energi Mendukung Kawasan Strategis, (9) Percepatan Pengembangan sistem logistik transportasi daerah, (10) Penguatan Sistem Kesehatan Primer dan Peningkatan Kualitas Pendidikan, (11) Program Jaringan Majukan Jambi yang disingkat PRO-JAMBI, dan (12) Penurunan Emisi GRK Menuju Net Zero Emission.
“Khusus PRO JAMBI, Program ini merupakan Quick Wins dalam upaya percepatan pengurangan ketimpangan pembangunan dan penurunan kemiskinan yang akan dilakukan setiap tahun selama kepemimpinan kami. Program ini akan dilaksanakan oleh Perangkat Daerah untuk menu yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi, serta berupa bantuan keuangan untuk menu yang bukan kewenangan Pemerintah Provinsi. Menu pertama adalah Pro Jambi Cerdas dengan kegiatan bantuan biaya pendidikan bagi siswa SMA/SMK dari keluarga kurang mampu, dan beasiswa S1, S2 dan S3 untuk umum, serta pendidikan vokasi secara kemitraan dengan Lembaga/Dunia Usaha baik dalam maupun luar negeri,” tutur Gubernur Al Haris.
Selain itu, Gubernur Al Haris juga mengungkapkan, Menu kedua adalah Pro Jambi sehat, antara lain berupa subsidi BPJS kesehatan bagi keluarga miskin, bantuan gizi bagi ibu hamil, balita dan remaja, serta gerakan masyarakat hidup sehat. Menu ketiga adalah Pro Jambi Tangguh, antara lain berupa bedah rumah, bantuan modal kerja bagi UMKM/ Industri Rumah Tangga/start up/milenial, bantuan sarana prasarana pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan, bantuan operasional lembaga adat, peningkatan life skill milenial/Gen Z siap kerja, job fair atau bursa kerja mantap berdaya saing, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian bagi Tenaga Kerja Rentan, serta kredit murah 2 persen bagi petani, nelayan dan pedagang pasar tradisional. Menu ke-empat adalah Pro Jambi Responsif, berupa bantuan bagi disabilitas, anak terlantar, lansia dan tuna sosial, insentif Babinsa/ Babinkamtibmas, membentuk Desa BERSINAR atau Desa Bersih Narkoba dan saluran Lapor Wak DUL (Wo Haris dan Pak Dul) yang menghimpun aspirasi dan layanan pengaduan masyarakat.
“Menu terakhir adalah Pro Jambi Agamis, berupa honorarium bagi pegawai syara, guru mengaji dan Madrasah Diniyah Takmiliyah serta Pondok Pesantren, honorarium Dai kecamatan, bantuan biaya umroh gratis bagi guru mengaji, hafidz quran dan pegawai syara berprestasi, dan program satu desa satu hafidz alqur’an,” ungkap Gubernur Al Haris.
Gubernur Al Haris juga mengajak seluruh bupati/wali kota se-Provinsi Jambi untuk berkomitmen bersama dalam mencapai target-target pembangunan Provinsi Jambi. Komitmen yang sama juga pada seluruh Kepala Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi. “Kita semua harus lebih intensif dalam berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, termasuk koordinasi antar kita di Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi serta para pemangku kepentingan lainnya, agar pembangunan yang kita laksanakan dapat bersinergi, memiliki daya ungkit, serta memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat,” tutup Gubernur Al Haris.
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) RI, Bima Arya Sugiarto dalam sambutannya sangat mendukung teguran Gubernur kepada dua kepala daerah yang tidak mengutus wakilnya dengan peringatan keras, karena tak hadir dan tak diwakili oleh wabupnya untuk hadir di Musrenbang RPJMD Jambi 2025-2029. “Cara disiplin yang ditunjukkan Gubernur Al Haris kepada para bupati merupakan yang ditanamkan dalam retret dari menteri ke gubernur. Itu yang harus dipahami bupati/wali kota untuk merapikan birokrasi kita,” ujar Wamendagri Bima Arya.
Bima Arya juga menjelaskan, Presiden Prabowo terinspirasi oleh tokoh reformis Cina, Deng Xiaoping. Tokoh tersebut diketahui berhasil mendorong perubahan signifikan dinegaranya hingga mampu menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar didunia. Semangat tersebut diharapkan juga dapat dimiliki oleh para pemimpin di Indonesia. “Saya mengajak Bapak-Ibu memahami jalan pikiran Presiden sebelum kita mengotak-atik RPJMD dan lain sebagainya,” jelasnya.
Dalam Musrenbang ini Gubernur Al Haris dan Ketua DPRD Provinsi Jambi M. Hafiz juga menyaksikan langsung Penandatanganan Kesepakatan Berita Acara Musrenbang RPJMD Provinsi Jambi Tahun 2025-2029 oleh para bupati/wali kota se-Provinsi Jambi.
 
                                    Hutan Indonesia adalah salah satu anugerah alam yang tidak ternilai harganya. Di dalamnya tersimpan tidak hanya kekayaan ekologi yang menjaga keseimbangan bumi, tetapi juga potensi ekonomi yang luar biasa. Tak terkecuali di hutan di wilayah Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Unit VIII Hilir Sarolangun, Provinsi Jambi, yang mengelola hutan seluas 110.372 hektare. Wilayah ini terdiri dari berbagai jenis tutupan lahan, termasuk hutan sekunder yang sempat mengalami penurunan luas sebesar 8.576 hektare (7,77 persen) antara tahun 2000 hingga 2019. Untuk mengatasi penurunan jumlah tutupan dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi masyarakat sekitar hutan, dapat dilakukan salah satunya dengan mengoptimalkan keberadaan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
HHBK ini menjadi peluang besar bagi masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan. Pengelolaan HHBK di wilayah ini pun bisa menjadi salah satu contoh nyata bahwa hutan Indonesia tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi juga berbagai produk bernilai ekonomi tinggi yang mampu mengangkat perekonomian masyarakat sekitar dan menambah devisa negara. Keanekaragaman HHBK di wilayah Sarolangun mencakup produk-produk seperti minyak kepayang, madu hutan, garam gunung, kembang semangkok, rotan, bambu, serai wangi, dan minyak sengkawang. Setiap produk ini memiliki nilai tersendiri, baik sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat lokal maupun sebagai simbol kekayaan alam Indonesia yang harus dijaga. Salah satu unggulannya adalah minyak kepayang, yang dikenal sebagai minyak goreng tanpa kolesterol, kaya omega-3 alami, dan bebas pestisida. Selain itu, minyak ini diolah menjadi produk turunan seperti sabun, lotion, dan minyak urut "Kepayang Message," yang membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat.
Selain kepayang, masyarakat lokal juga memproduksi garam gunung dari air asin alami yang kaya yodium. Meski masih menggunakan metode tradisional, garam ini telah dipasarkan hingga Pulau Jawa. Dukungan teknologi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas produksinya. Pemanfaatan madu hutan dari lebah Apis dorsata di kawasan ini juga mendukung keberlanjutan ekosistem. Madu hutan yang dipanen secara lestari telah menjadi produk unggulan dengan kualitas yang tinggi. Rotan dan bambu turut berkontribusi melalui berbagai kerajinan tangan hasil kelompok tani hutan, seperti tikar dan miniatur kapal pesiar. Usaha ini melibatkan ibu rumah tangga, sekaligus menjaga kelestarian hutan. Serai wangi dan minyak sengkawang menjadi komoditas lain dengan nilai ekonomi tinggi. Serai wangi diolah menjadi minyak atsiri untuk produk kecantikan, sedangkan minyak sengkawang dijual dengan harga tinggi, mencerminkan keanekaragaman potensi hutan Indonesia yang mendukung ekonomi berkelanjutan.
Namun, keberhasilan pengelolaan HHBK di Jambi juga memerlukan dukungan berbagai pihak termasuk salah satu inisiatif yang melibatkan KPHP Unit VIII Hilir Sarolangun sebagai unit pelaksana program yakni BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL). Program yang didanai Bank Dunia ini mengupayakan pendekatan komprehensif dalam mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat.
Program BioCF ISFL di Jambi bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan dan lanskap secara berkelanjutan, dengan fokus pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, sekaligus meningkatkan mata pencaharian masyarakat. Dalam konteks pengelolaan HHBK di KPHP Hilir Sarolangun, program ini bisa menjadi contoh konkret terkait pelibatan berbagai pihak untuk mewujudkan inisiatif positif, misalnya dari sisi adanya pendampingan teknis dan pelatihan untuk masyarakat lokal. Program ini menyediakan pelatihan kepada masyarakat lokal untuk meningkatkan kualitas produk HHBK, seperti minyak kepayang, madu hutan, dan rotan. Pendampingan ini mencakup teknik produksi berkelanjutan, pengemasan, hingga strategi pemasaran.
Selain itu, ada dukungan infrastruktur dan transfer teknologi dimana program yang melibatkan KLHK sebagai Komisi Teknis Nasional ini membantu meningkatkan efisiensi produksi, dari sisi penyediaan alat-alat modern untuk penyulingan minyak atsiri, teknologi pengolahan madu, dan pengolahan garam gunung. Dengan teknologi ini, masyarakat mampu meningkatkan hasil produksi dan kualitas produk. Melalui program ini pula berbagai produk HHBK dari Jambi, seperti madu hutan dan minyak kepayang, telah diperkenalkan ke pasar nasional dan internasional. Misalnya, madu hutan dari kawasan ini sempat dipamerkan dalam ajang-ajang pameran produk kehutanan. Kelompok tani hutan di wilayah ini juga menerima pelatihan manajemen usaha, sehingga mereka mampu menjalankan usaha HHBK secara lebih profesional dan berkelanjutan.
Melalui program ini juga ada edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Pendekatan ini memastikan bahwa pemanfaatan HHBK dilakukan tanpa merusak ekosistem, seperti melalui teknik panen madu yang lestari. Program-program serupa ini ke depan perlu lebih banyak dikembangkan sebagai bentuk nyata kolaborasi pemerintah dan mitra pembangunan dalam mengimplementasikan intervensi strategis untuk mendukung HHBK. Ke depan juga sudah saatnya dikembangkan perencanaan lanskap berbasis data sebab pemetaan potensi HHBK yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi geospasial dapat lebih presisi dalam menentukan wilayah prioritas pengembangan HHBK yang lestari. Berbagai program inisiatif pengurangan emisi juga harus diarahkan untuk mendorong investasi hijau melalui kemitraan dengan sektor swasta, seperti perusahaan yang membeli produk HHBK langsung dari petani atau kelompok tani hutan.
HHBK juga harus diintegrasikan dalam strategi mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi karbon dari deforestasi, yang juga memberi manfaat tambahan berupa insentif keuangan kepada masyarakat lokal. Keberhasilan intervensi melalui program-program pengurangan emisi di hutan Jambi pada akhirnya akan terlihat dari berbagai parameter penting di antaranya meningkatnya kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Dengan meningkatnya pendapatan dari HHBK, masyarakat tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mengakses pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik.
Selain itu, pendekatan yang mengintegrasikan pengelolaan lanskap hutan dan pengembangan ekonomi akan menjadi bukti efektivitas program dalam menekan laju deforestasi dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Maka ke depan diharapkan hutan Jambi bisa memberikan contoh konkret bahwa potensi HHBK dapat dikembangkan sebagai motor penggerak ekonomi yang sejalan dengan pelestarian lingkungan.
 
                                    Saat ini dunia menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, memiliki tanggung jawab besar dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan melestarikan sumber daya alamnya. Salah satu inisiatif yang memberikan harapan bagi masa depan pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF-ISFL) yang diimplementasikan di Jambi.
BioCF-ISFL merupakan salah satu program dari Bank Dunia yang bertujuan untuk mendukung pengelolaan lahan hutan secara berkelanjutan dengan pendekatan yang holistik. Program ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi lahan, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Inilah mengapa program ini sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jambi dipilih sebagai lokasi pelaksanaan program karena provinsi ini memiliki kekayaan hutan yang menjadi salah satu penopang utama ekosistem Sumatera. Namun, lahan di provinsi ini juga menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) akibat deforestasi dan degradasi hutan. Melalui program ini, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebanyak mungkin, sebuah langkah yang tidak hanya berdampak pada lingkungan lokal tetapi juga global.
Fase PelaksanaanPelaksanaan proyek ini dibagi dalam beberapa fase, dengan fase pra-investasi yang berlangsung pada 2021--2025 menjadi langkah awal penting. Dalam fase ini, dilakukan berbagai intervensi penting untuk memperkuat kelembagaan dan kebijakan terkait pengelolaan lahan berkelanjutan. Tujuannya jelas, yakni untuk mendorong perubahan pada tingkat kebijakan dan penerapan di lapangan agar lebih selaras dengan upaya pengurangan emisi. Salah satu indikator keberhasilan program ini adalah luas lahan yang dikelola secara berkelanjutan.
Pada semester pertama 2024, tercatat 268.630 hektare lahan di Jambi sudah dikelola dengan pendekatan yang berorientasi pada pengurangan emisi. Meski angka ini belum mencapai target akhir 2025, pencapaian ini menunjukkan bahwa upaya pengelolaan lanskap di Provinsi Jambi sudah berada di jalur yang benar. Pengelolaan ini mencakup reboisasi, restorasi lahan, serta pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk sektor swasta. Namun, pelaksanaan proyek ini bukan tanpa tantangan. Masalah tenurial, konflik penggunaan lahan, serta kebakaran hutan masih menjadi tantangan yang perlu diatasi.
Salah satu solusi yang diusulkan dalam laporan adalah penerapan kerangka pengaman sosial dan lingkungan, serta mekanisme resolusi konflik yang berbasis peta. Langkah-langkah ini, meskipun kompleks, diharapkan mampu meredakan konflik kepemilikan lahan yang kerap menjadi sumber masalah deforestasi. Di sisi lain, program ini juga harus memastikan bahwa mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing plan) berjalan dengan baik. Melalui mekanisme ini, Pemerintah berusaha memastikan bahwa manfaat dari pengurangan emisi tidak hanya dirasakan oleh Pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat lokal yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Partisipasi aktif dari masyarakat sekitar hutan dan kawasan konservasi menjadi kunci keberhasilan program ini. Satu hal yang patut diapresiasi dari pelaksanaan proyek ini adalah keterlibatan sektor swasta dalam penerapan praktik pengelolaan lahan yang lebih berkelanjutan.
Pada semester I 2024, terdapat 11 perusahaan dari sektor perkebunan yang telah berkomitmen untuk mendukung program pengurangan emisi di Provinsi Jambi. Kolaborasi antara Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat ini diharapkan dapat mempercepat tercapainya target pengurangan emisi di provinsi tersebut. Tidak hanya itu, pemerintah juga mendorong perusahaan untuk memanfaatkan forum CSR (corporate social responsibility) sebagai wadah untuk berkontribusi terhadap program-program lingkungan yang berdampak pada pengurangan emisi. Hal ini menciptakan simbiosis yang saling menguntungkan antara Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.
Menjaga hutanSalah satu keunggulan dari program BioCF-ISFL di Jambi adalah pendekatannya yang integratif. Program ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, masyarakat lokal, serta sektor swasta, untuk bekerja sama dalam mengelola sumber daya alam secara bijaksana. Hal ini menunjukkan bahwa pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat tidak perlu dipandang sebagai dua hal yang bertentangan. Sebaliknya, keduanya bisa saling melengkapi. Program ini pada intinya memberikan insentif kepada masyarakat setempat untuk menjaga hutan, sambil mendorong mereka untuk mengembangkan mata pencaharian yang ramah lingkungan. Misalnya, petani diajarkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan yang tidak merusak hutan, seperti agroforestry dan budi daya tanaman bernilai ekonomi tinggi tanpa harus membuka lahan baru. Hal ini tidak hanya mengurangi tekanan terhadap hutan, tetapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat.
Salah satu tujuan utama dari program ini adalah mengurangi emisi karbon yang berasal dari deforestasi dan degradasi lahan. Hutan tropis di Indonesia, termasuk di Jambi, memiliki potensi besar sebagai penyerap karbon alami. Dengan menjaga hutan tetap utuh, pengurangan jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer dapat dilakukan sekaligus membantu menstabilkan perubahan iklim global. Dalam praktiknya, upaya ini bukan hanya soal penurunan emisi. Program BioCF-ISFL juga memberikan contoh nyata bahwa pembangunan berkelanjutan tidak harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, melalui pendekatan ekonomi hijau, bisa menciptakan peluang baru bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan.Dari ekowisata hingga perdagangan karbon, berbagai peluang ekonomi baru bisa terbuka jika semua menjaga ekosistem tetap sehat.
Implementasi program BioCF-ISFL di Jambi ke depan diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi provinsi-provinsi lain di Indonesia yang juga memiliki masalah serupa dalam hal pengelolaan hutan dan lahan. Pendekatan kolaboratif, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, adalah kunci keberhasilan program ini. Dengan demikian, pemerintah daerah lainnya dapat belajar dari pengalaman Jambi dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada pelestarian lingkungan. Di sisi lain, masyarakat di seluruh Indonesia bisa mulai lebih sadar akan pentingnya peran hutan dalam menjaga keseimbangan ekologi dan iklim. Semakin banyak orang yang memahami pentingnya menjaga hutan, kian besar pula dukungan terhadap upaya-upaya konservasi di seluruh negeri. Sebab, inisiatif ini sejatinya bukan sekadar proyek lingkungan, melainkan bukti nyata bahwa pembangunan berkelanjutan bisa dicapai melalui kerja sama yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Lebih dari itu, program ini menjadi wadah bagi Jambi untuk bersama menyadari berpikir lebih luas tentang bagaimana semua bisa hidup harmonis dengan alam tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Keberhasilan program ini, kelak di Jambi dapat menjadi fondasi bagi Indonesia dalam mencapai target-target iklim global sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan. Dalam beberapa tahun ke depan, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa perubahan kebijakan dan praktik di lapangan dapat berjalan secara berkelanjutan. Reformasi kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan harus didorong lebih lanjut, tidak hanya di tingkat provinsi tetapi juga di level kabupaten dan kota. Pelaksanaan kebijakan Satu Peta di Provinsi Jambi juga harus dipercepat. Sinkronisasi data geospasial di berbagai tingkat pemerintahan akan membantu mengurangi tumpang tindih penggunaan lahan yang sering kali menjadi sumber konflik. Pemerintah Provinsi Jambi, dengan dukungan dari Pemerintah Pusat dan LSM, harus memastikan bahwa semua pihak dapat mengakses dan memanfaatkan data ini secara transparan.
Proyek BioCF ISFL ini menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor sangat penting dalam upaya pengelolaan lanskap berkelanjutan. Pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan akademisi harus terus bekerja bersama untuk mencapai target emisi yang telah ditetapkan. Tidak hanya untuk kepentingan lokal, tetapi juga sebagai kontribusi Indonesia dalam menjaga keseimbangan iklim global.
 
                                    Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) di Provinsi Jambi merupakan salah satu kawasan hutan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati dan menjadi rumah bagi komunitas Suku Anak Dalam, juga dikenal sebagai Orang Rimba. Hutan ini tidak hanya menyediakan habitat bagi flora dan fauna, tetapi juga menjadi ruang hidup dan penghidupan bagi masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, TNBD menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian hutan dan ekosistem. Aktivitas seperti perburuan satwa liar oleh oknum tak bertanggung jawab, penebangan liar, perambahan hutan, dan konversi lahan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan hutan ini.
Selain itu, tekanan modernisasi dan perubahan sosial mengancam keberlangsungan budaya dan mata pencaharian tradisional Suku Anak Dalam. Untuk mengatasi tantangan tersebut, berbagai inisiatif konservasi dan pemberdayaan masyarakat telah dilaksanakan. Salah satunya adalah pengenalan teknik agroforestri, yang mengintegrasikan praktik pertanian dengan konservasi hutan. Melalui pendekatan ini, masyarakat diajak untuk menanam tanaman bernilai ekonomi seperti karet, kopi, dan tanaman obat di bawah naungan pohon hutan sehingga dapat meningkatkan pendapatan tanpa merusak ekosistem hutan. Bagi masyarakat Suku Anak Dalam juga diberikan bantuan bibit multipurpose tree species (MPTS) dan buah-buahan termasuk petai, jengkol, kabau sebagai bagian dari program pemulihan ekosistem.
Selain itu, program pemberdayaan ekonomi berbasis hasil hutan nonkayu telah dikembangkan. Masyarakat didorong untuk mengelola dan memasarkan produk seperti madu hutan, rotan, dan kerajinan tangan yang memiliki nilai jual tinggi. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga mendorong pelestarian hutan karena masyarakat memiliki insentif langsung untuk menjaga kelestarian sumber daya alam mereka. Peran Suku Anak Dalam dalam konservasi hutan sangat krusial. Mereka memiliki pengetahuan tradisional yang mendalam tentang ekosistem hutan dan praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Namun, marginalisasi dan tekanan eksternal telah mengancam keberlangsungan budaya dan pengetahuan mereka. Oleh karena itu, upaya konservasi harus menghormati dan mengintegrasikan kearifan lokal Suku Anak Dalam. Salah satu contoh inisiatif yang melibatkan Suku Anak Dalam adalah program pendidikan berbasis budaya. Program ini mengintegrasikan pengetahuan tradisional dengan kurikulum formal sehingga generasi muda dapat memahami pentingnya konservasi hutan dan budaya mereka. Selain itu, pelatihan keterampilan seperti pembuatan kerajinan tangan dan pengolahan hasil hutan nonkayu diberikan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi mereka. Kolaborasi antara Pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat lokal sangat penting dalam upaya konservasi TNBD.
Inisiatif pelestarianBerbagai program pelestarian hutan telah terimplementasikan dengan berbagai hasil yang dapat menjadi bahan pembelajaran. Salah satu yang masih dalam proses implementasi di antaranya Program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL). Program ini adalah salah satu contoh inisiatif yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui perlindungan hutan dan reboisasi. Program ini difasilitasi oleh dana multilateral dan didukung oleh negara donor seperti Jerman, Norwegia, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat, yang dikelola oleh Bank Dunia. Kegiatannya terdiri dari tiga fase: persiapan, pra-investasi, dan pembayaran berbasis hasil.
Implementasi program seperti BioCF ISFL di TNBD melibatkan berbagai pihak, termasuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Balai Taman Nasional. Kegiatan prainvestasi difokuskan di empat KPH, yaitu KPH Hilir Sarolangun, KPH Bungo, KPH Tanjung Jabung Barat, dan KPH Merangin, serta empat Balai Taman Nasional, yaitu Taman Nasional Kerinci Sebelat, Berbak Sembilang, Bukit Dua Belas, dan Bukit Tiga Puluh, ditambah dengan Balai KSDA Jambi. Program ini tidak sekadar upaya pelestarian hutan, tetapi juga dirancang untuk memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Inisiatif ini adalah langkah nyata untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, sembari mengurangi emisi karbon dan memulihkan ekosistem yang terancam.
Tujuan utama dari program BioCF ISFL di Taman Nasional Bukit Dua Belas adalah untuk melindungi hutan dan memulihkan ekosistem yang rusak, sekaligus menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat sekitar Tantangan implementasi yang dihadapi di awal adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini masih bergantung pada pemanfaatan hutan secara ekstraktif, seperti penebangan pohon atau perburuan satwa liar. Tentu saja, diperlukan waktu untuk membangun kepercayaan dan mengedukasi mereka tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Namun, dengan pendekatan yang tepat, perlahan dapat dibangun kesadaran konservasi hutan dan peningkatan ekonomi masyarakat bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan bisa berjalan seiring.
Program ini diawali dengan upaya melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan pemulihan hutan, seperti penanaman pohon, pembuatan persemaian, hingga patroli hutan. Keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap ini tidak hanya meningkatkan rasa kepemilikan mereka terhadap program, tetapi juga membuka peluang baru bagi mereka untuk memperoleh penghasilan dari aktivitas yang lebih berkelanjutan. Salah satu pendekatan utama dalam program ini adalah pengenalan teknik agroforestri kepada masyarakat. Agroforestri merupakan metode yang menggabungkan pertanian dengan pengelolaan hutan, sehingga masyarakat bisa memanfaatkan lahan tanpa merusak hutan. Kelompok-kelompok tani hutan diperkuat dan dibekali pelatihan mengenai teknik budidaya yang ramah lingkungan. Melalui teknik ini, masyarakat dapat menghasilkan produk-produk hutan non-kayu seperti madu hutan, rotan, dan tanaman obat. Produk-produk ini tidak hanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga membantu menjaga kelestarian hutan.
Partisipasi aktif masyarakat sangat penting dalam keberhasilan program ini. Dari pelatihan yang diberikan, banyak dari mereka yang kini mulai beralih dari praktik-praktik yang merusak hutan menuju kegiatan yang lebih berkelanjutan. Dari sisi ekologi, tutupan hutan di kawasan taman nasional diharapkan terus terjaga, dan kerusakan hutan yang dulunya menjadi masalah serius kini bisa mulai ditekan. Salah satu indikator keberhasilan yang paling diharapkan adalah peningkatan keanekaragaman hayati di kawasan ini. Beberapa spesies kunci yang sebelumnya jarang terlihat, seperti harimau dan siamang, diharapkan mulai kembali menghuni kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Karena ini menandakan bahwa ekosistem di kawasan ini mulai pulih dan berfungsi kembali sebagai habitat yang ideal bagi berbagai spesies.
Selain dampak ekologis, program BioCF ISFL juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat sekitar. Melalui pelatihan dan pendampingan yang diberikan, masyarakat kini memiliki sumber penghasilan baru dari produk-produk hutan non-kayu. Salah satu inovasi penting dalam program ini adalah pendirian koperasi lokal yang berfungsi sebagai wadah untuk memfasilitasi pemasaran produk-produk hasil hutan. Dengan adanya koperasi ini, masyarakat tidak hanya memiliki akses ke pasar yang lebih luas, tetapi juga bisa mendapatkan harga yang lebih baik untuk produk-produk mereka. Keberhasilan program konservasi dan pemberdayaan masyarakat di TNBD tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Kolaborasi antara Pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat lokal menjadi kunci dalam menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan pendekatan yang holistik dan partisipatif, diharapkan TNBD dapat menjadi model pengelolaan hutan berkelanjutan yang menghormati kearifan lokal dan memberikan manfaat bagi semua pihak.
Identitas KulturalUpaya konservasi di TNBD juga menghadapi kompleksitas masyarakat adat termasuk harus mempertimbangkan dinamika sosial dan budaya Suku Anak Dalam. Penelitian menunjukkan bahwa identitas kultural mereka sangat erat dengan hutan sebagai sumber kehidupan dan spiritualitas. Oleh karena itu, program konservasi harus menghormati dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya mereka, seperti dalam praktik pernikahan, kelahiran, dan kematian yang terkait dengan kearifan lokal.
Selain itu, penting untuk memahami sejarah marginalisasi yang dialami oleh Suku Anak Dalam, terutama selama era Orde Baru, di mana mereka mengalami tekanan untuk berasimilasi dan kehilangan akses terhadap wilayah adat mereka.Memahami konteks sejarah ini penting untuk merancang program pemberdayaan yang sensitif terhadap kebutuhan dan aspirasi mereka.
Dalam jangka panjang, keberlanjutan TNBD bergantung pada keseimbangan antara konservasi lingkungan dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Pendekatan yang mengintegrasikan konservasi dengan pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan pelestarian budaya akan memastikan bahwa hutan tetap lestari dan masyarakat dapat menikmati manfaatnya secara berkelanjutan. Dengan komitmen bersama dari semua pihak, Taman Nasional Bukit Dua Belas dapat menjadi contoh sukses pengelolaan hutan berkelanjutan yang menghormati kearifan lokal dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang.
*Kepala Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.
 
                                    Jambi – Provinsi Jambi memiliki potensi sangat besar untuk melaksanakan kegiatan penurunan emisi melalui pengelolaan hutan dan lahan. Mengingat Provinsi Jambi memiliki 4 Taman Nasional, serta 29 hutan adat yang merupakan hutan terbanyak di Indonesia ditambah kawasan Perhutanan Sosial yang tersebar di 10 KPH.
Terkait program Bio Carbon Fund, maka Pemerintah Provinsi Jambi melalui Sub Nasional Manajemen Unit (SNPMU) saat ini sedang melaksanakan kegiatan sosialisasi ke 10 Kabupaten/Kota untuk memberikan gambaran umum tentang pola penetapan dan pengukuran emisi, penetapan dan skema pembagian manfaat dan tata cara penyaluran manfaat serta fungsi safeguard dan standar monev yang akan dilaksanakan dalam pengelolaan dana manfaat nantinya.
Dan pelaksanaan kegiatan lingkup BioCF-ISFL merupakan wujud komitmen Provinsi Jambi dalam ikut berperan aktif melaksanakan penurunan emisi.
“Pemerintah Provinsi Jambi telah berkomitmen dan akan terus mengimplementasikan konsep
REDD+ di Provinsi Jambi yaitu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan konservasi serta cadangan karbon hutan”, tegas Kepala Bappeda Provinsi Jambi yang diwakili oleh Kabid Perekonomian dan Sumber Daya Alam yang juga merupakan wakil ketua SNPMU BioCF Dr.Ahmad Subhan. S.IP. M.Si hari ini (7/10) dalam acara pembukaan sosialisasi BioCF-ISFL yang diikuti oleh jajaran Pemerintah Kabupaten Kerinci.
Lebih jauh Subhan menambahkan bahwa pemerintah provinsi Jambi telah mengintegrasikan Road Map Pertumbuhan Ekonomi Hijau Tahun 2019- 2045 dengan Dokumen Perencanaan RPJMD Provinsi Jambi.
Selain itu juga diperkuat dengan adanya regulasi Provinsi Jambi melalui Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang menunjukkan komitmen kuat Gubernur Jambi dan DPRD Provinsi Jambi.
Agar implementasi REDD+ dalam kerangka Ekonomi Hijau tersebut dirasakannya manfaatnya oleh seluruh masyarakat, maka Provinsi Jambi saat ini sedang melaksanakan program BioCF-ISFL dimana melalui program ini ditargetkan penurunan emisi sebesar 10 juta ton CO2 equivalen dengan disertai Result Based Payment (RBP) atau insentif berbasis kinerja mencapai 70 juta USD.
Ketua bidang monev SNPMU Dharmawansyah SP. MM turut menghimbau semua pihak mendukung pelaksanaan kegiatan lingkup BioCF-ISFL.
“Saya berharap kerjasama dan dukungan semua pihak”, tegas Wawan saat menyampaikan materi sosialisasi tentang monev.
Bupati Kerinci yang diwakilkan Asisten bidang Perekonomian dan Pembangunan H.Atmir,S.E,MM dalam sambutannya menegaskan bahwa pihak Kabupaten Kerinci sangat mendukung kegiatan Bio Carbon Fund dan siap bekerjasama untuk menurunkan emisi dengan memanfaatkan potensi hutan yang ada di wilayah Kabupaten Kerinci.
“Saya berharap melalui program ini masyarakat desa yang ada di sekitar hutan dapat meningkatkan kesejahteraannya”, papar Atmir seusai membuka acara Sosialisasi Fase RBP BioCF yang dilaksanakan di aula kantor BAPPEDA-Litbang Kabupaten Kerinci.