Jambi, 13 Oktober 2025 – Pemerintah Provinsi Jambi kembali menegaskan komitmennya dalam memperkuat peran Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha (TJSLBU/CSR) sebagai instrumen penting dalam pembangunan berkelanjutan dan penurunan emisi. Melalui kegiatan yang difasilitasi oleh Bappeda Provinsi Jambi, berbagai pemangku kepentingan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga sektor swasta berkumpul untuk menyelaraskan arah program CSR dengan prioritas pembangunan daerah.
Dalam sambutannya, Sekretaris Bappeda Provinsi Jambi menyoroti pentingnya peningkatan partisipasi sektor swasta dalam menghasilkan Emission Reduction (ER) dalam kerangka program BioCF ISFL tahun 2025. Sejak memasuki fase Pre-Investment di tahun 2022, Provinsi Jambi telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 82,38 miliar dengan dukungan dari lima perangkat daerah utama: Bappeda, Dinas TPHP, Dinas Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan.
Pertemuan ini secara khusus membahas implementasi program TJSLBU/CSR yang mendukung penurunan emisi dan menampilkan praktik-praktik terbaik (best practices) dalam pengelolaan dana CSR di berbagai daerah. Tujuan utamanya adalah membangun sinergi dan sinkronisasi antara pemerintah dan pelaku usaha agar CSR menjadi bagian integral dalam pembangunan daerah.
Peran Strategis Dinas Sosial dan Forum TJSLBU
Kepala Dinas Sosial Dukcapil Provinsi Jambi, yang diwakili oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial, menegaskan peran Dinas Sosial dalam melakukan pembinaan, pengawasan, serta pengembangan kapasitas badan usaha dalam melaksanakan TJSLBU. Berdasarkan Permensos Nomor 9 Tahun 2020, setiap badan usaha wajib melaporkan kegiatan CSR secara berkala kepada pemerintah, dengan laporan berisi informasi program, anggaran, dan dokumentasi kegiatan.
Pada tahun 2024, berbagai inisiatif telah dijalankan dengan pembiayaan CSR, seperti perbaikan infrastruktur jalan dan pengadaan alat transportasi untuk operasional dinas, menunjukkan kontribusi nyata dunia usaha terhadap pembangunan daerah. Forum TJSLBU Provinsi Jambi juga tengah mengembangkan sistem berbasis web untuk penguatan database dan peningkatan profesionalitas pengurus forum hingga tahun 2027.
Keterlibatan Aktif Kabupaten/Kota
Paparan dari Bappeda Kabupaten Tanjung Jabung Barat mengungkapkan bahwa pelaksanaan TJSLP (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan) telah menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah. Kendati belum seluruhnya terkoordinasi secara optimal, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya agar perusahaan lebih terlibat secara aktif dan terarah. Mulai dari proses musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes) hingga pengusulan program prioritas, perusahaan diarahkan untuk mendanai kegiatan yang tidak dapat ditanggung APBD.
Bappeda Tanjung Jabung Timur juga menekankan pentingnya sinergi antara CSR dan program daerah. Kebijakan CSR mereka, yang tertuang dalam Perda Nomor 13 Tahun 2013, telah diarahkan untuk menyentuh kebutuhan nyata masyarakat, dengan fokus pada penguatan ekonomi, sosial budaya, hingga pembangunan infrastruktur desa.
Diskusi: Tantangan dan Rekomendasi
Forum diskusi yang berlangsung memperlihatkan kesamaan tantangan di berbagai kabupaten/kota, terutama dalam hal pelaporan dan koordinasi dengan perusahaan. Beberapa daerah, seperti Sarolangun dan Batanghari, mengeluhkan kurangnya laporan dari badan usaha serta rendahnya kesadaran sektor swasta dalam mendukung program pemerintah.
Sebagai respons, beberapa strategi dari daerah lain dipaparkan. Kabupaten Tanjung Jabung Barat, misalnya, mendorong komunikasi intensif dan memberikan penghargaan tahunan kepada perusahaan aktif sebagai bentuk apresiasi. Sementara di Tanjung Jabung Timur, komunikasi kepala daerah langsung dengan pimpinan perusahaan dinilai efektif dalam meningkatkan partisipasi.
Langkah ke Depan: Peraturan dan Standarisasi
Sebagai tindak lanjut, Bappeda Provinsi Jambi berencana menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai turunan dari Perda CSR Provinsi. Pergub ini akan mengatur mekanisme koordinasi, peran tim fasilitasi, dan sistem pelaporan yang terintegrasi. Selain itu, akan dilakukan perombakan manajemen Forum CSR Provinsi Jambi untuk meningkatkan efektivitas koordinasi.
Dinas Sosial Provinsi Jambi juga diberi mandat untuk memperkuat pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan CSR di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah daerah pun diminta untuk menyesuaikan peraturan mereka agar sejalan dengan regulasi nasional, khususnya Permensos Nomor 9 Tahun 2020.
Fokus 2025: Peningkatan Sosial dan Lingkungan
Provinsi Jambi berkomitmen untuk mengarahkan dana CSR kepada dua sasaran utama: penurunan emisi karbon dan peningkatan kesejahteraan sosial. Terdapat 12 kategori kelompok masyarakat yang menjadi prioritas penerima manfaat, mulai dari anak-anak rentan, lansia terlantar, penyandang disabilitas, korban bencana, hingga fakir miskin dan komunitas adat terpencil.
CSR tidak lagi sekadar formalitas perusahaan, melainkan menjadi bagian strategis dari pembangunan berkelanjutan. Melalui sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha, Provinsi Jambi berharap dapat mewujudkan pembangunan inklusif, hijau, dan berkelanjutan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
Penutup
Momentum pertemuan ini menjadi langkah awal untuk menyatukan persepsi dan langkah konkret dalam mengintegrasikan CSR ke dalam agenda pembangunan daerah. Sinergi lintas sektor dan regulasi yang kuat diharapkan mampu menjadikan Jambi sebagai contoh implementasi TJSLBU yang sukses dan berkelanjutan di Indonesia.
Jambi, 23 September 2025 — Pemerintah Provinsi Jambi melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) bersama dengan berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan lembaga pendukung terus mengupayakan percepatan pelaksanaan program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF-ISFL) yang akan mencapai tahap kritis pada tahun 2025 dan 2026. Dalam rapat koordinasi lintas sektor yang melibatkan berbagai dinas teknis dan mitra, Kepala Bappeda Provinsi Jambi, Ir. Agus Sunaryo, M.Si, menegaskan perlunya langkah percepatan dan sinkronisasi antar OPD. “Proyeksi pelaksanaan tahun 2025 baru sampai bulan Oktober. Beberapa kegiatan belum terlaksana karena masih menunggu perubahan APBD,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa untuk tahun 2026, pelaksanaan hanya berlangsung hingga Mei, dengan bulan Juni sudah memasuki proses reimburse. Selain itu, terdapat perbedaan signifikan dalam pagu anggaran. Dalam dokumen RKA, hanya tercantum angka Rp4 miliar, sementara hasil koordinasi dengan KLHK dan World Bank menunjukkan potensi pagu hingga Rp6 miliar. “Hal ini membutuhkan tindak lanjut berupa kesepakatan LEMTARA dan alokasi kinerja,” tegas Agus.
Perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Adi, melaporkan bahwa kegiatan monitoring & evaluation (monev) untuk safeguard menjadi tantangan tersendiri. “Banyak kegiatan turun ke lapangan, sementara penggunaan anggaran untuk sewa kendaraan menjadi temuan dalam pemeriksaan,” ungkapnya. Selain itu, DLH juga bertanggung jawab atas pelaksanaan pengakuan wilayah adat dan konsultasi publik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dari sisi Dinas Kehutanan, permasalahan efisiensi anggaran menyebabkan terjadinya pergeseran pada perjalanan dinas. Pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga menyuarakan kekhawatiran mereka. “KPH takut jika program sudah berjalan, ternyata tidak bisa direimburse,” ujar perwakilan dinas. Dinas Perkebunan mencatat bahwa proyeksi anggaran tahun 2025 mencapai sekitar Rp985 juta yang dialokasikan untuk lima kegiatan prioritas. Meski angkanya tidak besar, kejelasan dan ketepatan waktu pelaksanaan tetap menjadi perhatian utama.
Menurut Agus Sunardi dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD), dinamika politik di tingkat Badan Anggaran (Banggar) menjadi salah satu hambatan utama. Meski demikian, ia optimis bahwa finalisasi APBD dapat dilakukan pada 24 September, dengan ketok palu pengesahan dijadwalkan pada 26 September. “Setelah pengesahan, tiga hari kemudian dokumen akan dikirim ke Kemendagri. Kami perkirakan pada 27-31 Oktober anggaran perubahan sudah bisa dieksekusi,” jelas Agus. Ia juga menegaskan bahwa proses reimburse memiliki tenggat waktu satu bulan dan diharapkan proses verifikasi selesai pada Desember. Terkait permasalahan penggunaan kendaraan dinas, BPKPD mengingatkan bahwa berdasarkan peraturan presiden terbaru, hanya kepala daerah dan kepala dinas yang diperbolehkan menggunakan kendaraan sewa untuk kegiatan dinas. Untuk menghindari temuan audit, disarankan adanya manajemen kendaraan operasional yang efisien antar OPD. Terkait penambahan anggaran dari Rp4 miliar menjadi Rp6 miliar, Agus menyampaikan bahwa Rp2 miliar tambahan tersebut dapat segera didistribusikan ke SKPD teknis. “Kami juga akan mengupayakan agar temuan dari DLH bisa dikategorikan sebagai temuan administratif, bukan pelanggaran berat,” tambahnya.
Rapat koordinasi juga menghasilkan sejumlah rekomendasi penting:
Jambi, 3–4 September 2025 — Pemerintah Provinsi Jambi melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) menggelar Rapat Koordinasi Penyusunan Emission Reduction Monitoring Report (ERMR) Tahap I untuk Jambi Emission Reduction Program (ERP) periode 2020–2022. Kegiatan ini menjadi momentum penting dalam memastikan kesiapan Provinsi Jambi melangkah menuju pembayaran berbasis hasil (Result-Based Payment/RBP) melalui mekanisme kerja sama dengan World Bank.
Rapat dibuka oleh Ir. H. Sepdinal, ME selaku perwakilan Kepala Bappeda. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa penyusunan ERMR merupakan tahapan strategis dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca di Jambi. ERMR Tahap I mencakup tujuh bab dan lima lampiran yang disusun oleh tim MAR dengan kontribusi lintas bidang, termasuk safeguard, Monev, Benefit Sharing Mechanism (BSM), dan lainnya.
Hingga pertengahan 2025, program BioCarbon Fund (BIOCF) masih berada pada fase pra-investasi dengan fokus memperkuat kelembagaan dan kebijakan. Negosiasi Emission Reduction Payment Agreement (ERPA) dengan World Bank tertunda karena pembaruan dokumen lingkungan, sosial, dan benefit sharing plan (BSP). Meski begitu, realisasi anggaran telah mencapai 77,2% dengan berbagai tantangan operasional di lapangan.
Dalam pembahasan dokumen ERMR, peserta rapat menyoroti pentingnya konsistensi data dengan sumber nasional seperti SignSmart dan IPSDH. Data aktivitas, terutama dari sektor pertanian dan peternakan, diharapkan dapat dilengkapi hingga tahun 2024. Tim teknis menegaskan bahwa seluruh data perubahan tutupan lahan akan disajikan dalam format matriks Excel agar memudahkan proses verifikasi dan menghindari perbedaan data.
Penyusunan BSP kini memasuki tahap finalisasi. Rencana pembagian manfaat mencakup 57% berdasarkan kinerja, 1–1,5% untuk perusahaan sawit sukarela, dan 5% bagi kelompok perhutanan sosial (PS) skala kecil. Diskusi juga menyoroti penentuan lembaga perantara (Lemtara) penyaluran manfaat dengan tiga opsi: tim pansel lokal di bawah Gubernur, lembaga pusat, atau BPDLH.
Tantangan utama terletak pada kelengkapan data penerima manfaat dan validasi lapangan. Untuk mencegah tumpang tindih, dokumen BSP dianjurkan menggunakan satu dokumen safeguard yang telah disetujui sejak 2022.
Program penurunan emisi Jambi menerapkan dua sistem safeguard, yakni OPBP untuk free investment dan ISS untuk result-based payment. Disepakati bahwa tidak perlu membuat dokumen baru, melainkan menyesuaikan panduan yang ada. Sinkronisasi antara BSP dan safeguard menjadi prioritas untuk menghindari konflik implementasi.
Pembahasan juga mencakup proses registrasi karbon di Sistem Registri Nasional (SRN) serta integrasinya dengan Carbon Asset Tracking System (CATS) milik World Bank. Semua entitas, termasuk masyarakat adat dan LSM seperti Warsi, wajib terdaftar di SRN dan memperoleh persetujuan pemerintah pusat. Diskusi menyoroti pentingnya kesiapan regulasi daerah agar mekanisme perdagangan karbon berjalan efektif.
Beragam tantangan masih dihadapi, mulai dari keterbatasan data mikro kelompok PS, perubahan kebijakan tata ruang, hingga sinkronisasi lintas sektor. Pemerintah Provinsi Jambi berkomitmen memperkuat koordinasi dan mempercepat negosiasi ERPA demi mendukung keberlanjutan pembayaran berbasis hasil.
Pembahasan pada Kamis, 4 September 2025, difokuskan pada mekanisme buffer dan risiko reversal mengacu pada SFL Buffer Requirement 2023. Sebesar 15% dari total reduksi emisi akan dialokasikan sebagai buffer account untuk mengantisipasi risiko pengembalian emisi akibat kebakaran, banjir, konflik tenurial, atau deforestasi baru.
Bab 6 ERMR memuat risk assessment, buffer tool, serta narasi keterkaitan dengan Annex 1 safeguard dan non-carbon benefit (NCB). Data baseline, emisi aktual, dan peristiwa besar seperti El Niño, kebakaran gambut, atau konflik izin menjadi komponen utama pelaporan.
Dalam sesi ini, Pak Deddy memaparkan Environmental and Social Due Diligence (ESDD) yang menilai kesesuaian program dengan standar safeguard Bank Dunia untuk periode 2022–2024. Analisis ESDD mencakup risiko lingkungan, kondisi kerja, konservasi keanekaragaman hayati, dan keterlibatan masyarakat adat.
Ketua Safeguard, Ibu Linda, menambahkan bahwa pengawasan dilakukan dua kali setahun dan akan lebih difokuskan pada pengelolaan lahan gambut untuk mencegah kebakaran dan emisi. Sementara Sahru dari tim safeguard melaporkan bahwa dokumen ESDD telah direvisi dan siap diserahkan ke Bank Dunia.
Peserta rapat memberikan berbagai masukan, termasuk pentingnya menilai dampak izin pemanfaatan hutan produksi di bawah 5 hektare, potensi konflik dengan proyek strategis nasional, dan perlunya pemantauan kegiatan rehabilitasi serta konservasi hutan.
Disepakati pula pentingnya rapat lintas bidang secara rutin guna mempercepat penyelesaian isu teknis dan koordinasi dengan kementerian pusat.
Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) menjelaskan pengembangan portal OCM (Online Collaboration Management) untuk pengumpulan data secara real-time oleh seluruh bidang dan penerima manfaat. Penggunaan drone oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga diusulkan guna meningkatkan akurasi pemantauan area rehabilitasi. Semua data akan disimpan minimal selama tujuh tahun sesuai ketentuan perjanjian kerja sama dengan World Bank.
Rapat juga membahas mekanisme pemberian insentif bagi pemilik sawit dalam skema perhutanan sosial. KPH diimbau melakukan pembinaan ketat agar tidak ada pelanggaran penggunaan lahan setelah SK PS diterbitkan.
Isu “jangka benah” sawit menjadi perhatian khusus karena memerlukan solusi lapangan yang realistis dan berkeadilan.
Selain penurunan emisi, Jambi juga menekankan manfaat non-karbon (NCB) seperti peningkatan mata pencaharian lokal, tata kelola hutan yang transparan, dan konservasi keanekaragaman hayati. Data pendukung NCB akan dikumpulkan oleh tim Monev dengan dukungan citra spasial dan laporan lapangan untuk memastikan akurasi klaim capaian.
Rapat koordinasi dua hari ini menghasilkan berbagai kesepakatan penting, mulai dari konsistensi data hingga sinkronisasi dokumen ERMR, BSP, dan safeguard. Dengan sinergi lintas sektor dan dukungan seluruh pemangku kepentingan, Provinsi Jambi menegaskan komitmennya menjadi contoh pelaksanaan program penurunan emisi berbasis hasil di Indonesia.
Langkah-langkah yang telah disepakati diharapkan menjadi fondasi kuat bagi keberlanjutan program BIOCF dan mempercepat tercapainya target low carbon development di Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.
Jambi, 1–2 September 2025 — Direktorat IGRK MPV bersama Bidang Monitoring, Assessment, and Reporting (MAR) BioCF-ISFL Provinsi Jambi menyelenggarakan rapat koordinasi dua hari yang membahas progres kegiatan, penyempurnaan sistem, serta penguatan kapasitas dalam mendukung implementasi penuh Program BioCF-ISFL di Provinsi Jambi.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah daerah, lembaga teknis, akademisi, dan mitra pembangunan. Rapat dibagi ke dalam beberapa sesi dengan topik yang mencakup pembaruan progres IGRK & MAR, penyusunan peta penutupan lahan, revisi SOP, sistem deteksi dini deforestasi, hingga optimalisasi portal informasi BioCF ISFL Jambi.
Dalam sesi pembuka, Agustina Kristin Handayani, S.T. memaparkan perkembangan kegiatan IGRK & MAR di bawah kerangka Program BioCF-ISFL. Ia menegaskan bahwa MAR memiliki peran penting dalam memastikan akurasi data emisi, monitoring intervensi, serta pelaporan capaian penurunan emisi berbasis skema REDD+.
Program ini berfokus pada penghitungan emisi, penguatan sistem MRV (Measurement, Reporting, Verification), serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas di tingkat daerah. Tahapan menuju implementasi penuh sistem MAR mencakup persiapan, uji coba, evaluasi, dan implementasi penuh di seluruh wilayah intervensi BioCF ISFL Jambi.
“Progres implementasi MAR telah berjalan sesuai rencana, namun perlu percepatan pada aspek penguatan kelembagaan dan integrasi data lintas instansi,” ujarnya. Dukungan antarlembaga, baik pusat maupun daerah, menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan penuh sistem MAR yang direncanakan bertahap hingga 2026.
Selanjutnya, Tantri Janiatri, S.Hut. menyampaikan hasil progres penyusunan dokumentasi peningkatan akurasi peta penutupan lahan Provinsi Jambi. Kegiatan dilakukan melalui tiga tahap Quality Control (QC) di Bogor dan Jambi antara April hingga Juni 2025.
Proses validasi yang melibatkan observasi hingga 100% sampel berhasil meningkatkan akurasi data penutupan lahan dengan tingkat konsistensi mencapai 99% pada tahun 2022. “Data ini kini layak menjadi dasar perencanaan pembangunan rendah emisi di Jambi,” ujar Tantri.
Dokumentasi yang dihasilkan akan menjadi referensi penting bagi pelaksanaan program BioCF ISFL dan REDD+. Untuk tahap berikutnya, penyusunan buku dokumentasi yang lebih sistematis akan dilakukan dengan dukungan tim MAR dan IPSDH.
Dalam sesi berikutnya, Dr. Asnelly Ridha Daulay, M.Nat.Res., Ecs menekankan perlunya revisi dan pembaruan Standard Operating Procedure (SOP) bidang MAR. Revisi tersebut menyesuaikan metode pengukuran cadangan karbon berdasarkan NFI versi 2 yang dikembangkan IPSDH.
Ia juga menekankan pentingnya dokumentasi implementasi SOP sebagai bukti pelaksanaan di lapangan serta legalisasi dokumen melalui SK Sekretaris Daerah agar memiliki kekuatan formal bagi seluruh OPD terkait.
Selain itu, frekuensi pelaporan kegiatan monitoring seperti pengamatan kebakaran dan deforestasi disepakati dilakukan minimal bulanan, dengan pemantauan hotspot harian selama musim kemarau.
Latifah, S.T., M.T. memaparkan rencana kerja bidang MAR untuk 2025–2026. Fokus kegiatan tahun 2025 mencakup implementasi penuh MAR, perbaikan data penutupan lahan (didukung GCF), serta penguatan kebijakan satu peta.
Beberapa kegiatan yang tengah berjalan meliputi penyusunan dokumen ERMR 1, data entitas RBP, dan data deteksi dini kebakaran, sementara penyempurnaan SOP dan laporan SRN masih dalam tahap persiapan.
Selain itu, kegiatan plot sampling untuk perbaikan data penutupan lahan dijadwalkan berlangsung November 2025–Januari 2026.
Hari kedua dibuka dengan paparan Dio Wisnu Mulyanda, S.T. mengenai pengembangan Early Detection System deforestasi dan degradasi di Jambi. Ia menjelaskan penggunaan platform Google Earth Engine, serta integrasi sistem GLAD-L (Landsat) dan RADD (Radar Sentinel-1) untuk mendeteksi kehilangan tutupan hutan secara cepat dan akurat.
Kombinasi kedua sistem ini memungkinkan peringatan dini dengan tingkat kepercayaan tinggi, bahkan di wilayah berhutan tropis dengan tutupan awan tebal. Dio juga memperkenalkan sistem deteksi kebakaran berbasis Normalized Burn Ratio (NBR) dan pemanfaatan Avenza Maps untuk navigasi lapangan tanpa internet.
Muhammad Danial Husairi, S.Hut., dan Alif Rahmat Julianda, S.Kom. memaparkan progres dan rencana pengembangan portal biocf.jambiprov.go.id. Sejak dikembangkan pada 2022, portal ini menjadi pusat informasi dan pelaporan data BioCF, mencakup emisi, tutupan hutan, area intervensi, dan pendorong deforestasi.
Meski sudah aktif, portal masih membutuhkan sosialisasi dan optimalisasi. Pengelolaan data dilakukan melalui template Excel dengan pembagian akses publik, privat, dan root untuk menjamin keamanan dan konsistensi data.
Para peserta menekankan pentingnya membuat portal lebih user-friendly dengan tampilan peta yang terstandarisasi, pembaruan berkala, dan integrasi dengan sistem smart patrol di kawasan taman nasional.
Dian Martiyosa, S.T. menyoroti pentingnya ketersediaan data geospasial dasar dan tematik untuk mendukung perhitungan emisi dan integrasi lintas sektor. Ia menjelaskan bahwa BioCF ISFL membutuhkan data yang akurat, mutakhir, dan terintegrasi, meliputi batas administrasi, tutupan hutan, kawasan gambut, hingga data sosial ekonomi.
Namun, masih terdapat tantangan berupa perbedaan metodologi, keterbatasan akses data perizinan, serta belum seragamnya skala data antarinstansi. Ia merekomendasikan pembangunan geoportal terpadu, peningkatan kapasitas SDM, dan pemutakhiran rutin data tematik.
Wilya Eka Sari, SP. menutup sesi dengan pemaparan mengenai kebutuhan tambahan untuk mendukung keberlanjutan program. Agenda meliputi penyusunan timeline kegiatan MAR 2026, kajian carbon accounting untuk yurisdiksi REDD+, finalisasi buku akurasi peta penutupan lahan 2020–2022, serta penunjukan PIC portal data.
Para penanggap memberikan sejumlah rekomendasi, termasuk penguatan kapasitas SDM, standarisasi peta, pengaturan kebijakan berbagi data, serta mekanisme komunikasi publik internal sebelum diteruskan ke sistem pengaduan nasional.
Rapat koordinasi ini berhasil menghasilkan sejumlah kesepakatan strategis. Para peserta sepakat untuk:
Mempercepat implementasi penuh sistem MAR.
Menyempurnakan SOP sesuai metode terbaru.
Mengoptimalkan portal BioCF sebagai sarana transparansi dan pelaporan digital.
Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan integrasi data geospasial.
Memastikan keberlanjutan program melalui peningkatan kapasitas SDM dan pendanaan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, rapat ini menjadi langkah konkret dalam memperkuat sistem Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) di Provinsi Jambi. Melalui sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan mitra pembangunan, implementasi BioCF ISFL diharapkan tidak hanya mendukung penurunan emisi karbon, tetapi juga memperkuat tata kelola lingkungan yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.
Pada Tahun Anggaran 2025, Desa Pemaatang Kulim menjadi salah satu desa yang mendapatkan dukungan dalam kegiatan pengembangan bisnis melalui program setup lebah madu. Program ini dilaksanakan bersama Kelompok Tani Hutan (KTH) Pematang Kulim dengan tujuan utama meningkatkan kemampuan kelompok dalam beternak lebah, menghasilkan madu berkualitas, serta membuka peluang usaha baru yang dapat menambah pendapatan masyarakat desa.
Melalui kegiatan ini, anggota KTH Pematang Kulim memperoleh pengetahuan dan keterampilan praktis mengenai budidaya lebah madu, mulai dari cara pemberian pakan, perawatan koloni, hingga teknik pemanenan yang tepat. Pelatihan ini tidak hanya memperkuat kapasitas individu anggota, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pemanfaatan potensi alam desa secara berkelanjutan.
Dalam pelaksanaannya, KTH Pematang Kulim telah aktif mengikuti berbagai pelatihan menganai cara merawat lebah dan memanen madu. Saat ini, kondisi koloni lebah tergolong cukup baik, meskipun terdapat beberapa koloni yang kabur sehingga sedikit mengurangi jumlah produksi. Kendati demikian, kelompok tetap berupaya menjaga kestabilan koloni agar hasil panen dapat meningkat dari waktu ke waktu.
Hasil panen madu saat ini sudah bisa dilakukan setiap 15 hari sekali, namun produksinya masih tergolong sedikit dan belum dijual secara rutin. Untuk mendukung aspek pemasaran, kelompok telah menjalin kerja sama dengan beberapa Usaha Mikro Kecil (UMK) di sekitar wilayah desa, yang telah disetujui dan siap membantu distribusi produk madu ketika produksi sudah stabil.
Dari sisi kelembagaan, anggota KTH Pematang Kulim menunjukkan komitmen dan kerja sama yang baik. Tugas dan tanggung jawab telah dibagi secara jelas-mulai dari perawatan lebah, pemberian pakan, proses panen, hingga pemasaran hasil madu. Pembagian tugas yang teratu ini menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga keberlanjutan usaha,
Secara keseluruhan, kegiatan pengembangan bisnis setup lebah madu di Desa Pematang Kulim telah memberikan dampak positif bagi kelompok dan masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan dalam beternak lebah semakin meningkat, kerja sama pemasaran telah terbangun, dan produksi madu mulai berjalan meskipun masih terbatas. Dengan adanya dukungan berkelanjutan dan semangat gotong royong anggota kelompok, usaha lebah madu ini berpotensi tumbuh menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan dan menjadi contoh sukses bagi desa-desa lain dalam mengembangkan potensi lokal secara mandiri dan ramah lingkungan.
Jambi – Provinsi Jambi menjadi salah satu daerah yang mendapatkan Dana Hibah BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL) dari Bank Dunia, menyusul Kalimantan Timur sebagai provinsi pertama penerima dana serupa. Program ini merupakan upaya global untuk mendukung pengurangan emisi berbasis lanskap, pelestarian hutan, serta pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Menurut Ir. H. Sepdinal, M.E, Ketua SNPMU BioCF ISFL Provinsi Jambi, seluruh entitas yang memiliki legalitas dan bergerak di kawasan hutan berpeluang menerima dana berbasis kinerja (Result-Based Payment atau RBP). Namun, posisi Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam skema ini masih memerlukan perhatian khusus, terutama karena sebagian besar belum memiliki dasar legalitas formal atau Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah.
“KAT bisa masuk dalam kelompok kinerja, tapi karena belum berlegalitas, maka penyaluran dananya tidak bisa langsung ke komunitas. Mereka perlu bergabung dengan pengelola kawasan seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) atau Taman Nasional (TN),” jelas Sepdinal.
Dalam kondisi seperti itu, KPH atau TN berkewajiban membantu mendanai dan membina kegiatan KAT yang berada di wilayahnya. Sementara bagi KAT yang tinggal di luar kawasan hutan, peluang bantuan lebih mengarah pada alokasi sosial ekonomi berbasis desa.
Yunasri Basri, dari bidang Safeguard BioCF ISFL Provinsi Jambi, menjelaskan bahwa pelaksanaan BioCF harus mengacu pada Environmental and Social Standards Bank Dunia, yang meliputi penilaian dampak sosial-lingkungan, konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan komunitas adat, serta pelestarian warisan budaya.
Khusus untuk KAT, dasar hukum nasional yang digunakan adalah Permensos No. 9 Tahun 2012 dan Permensos No. 12 Tahun 2015, yang mengelompokkan KAT menjadi tiga kategori:
Kategori 1: komunitas pemburu dan peramu yang hidup berpindah dan minim interaksi dengan dunia luar.
Kategori 2: peladang berpindah yang sudah memiliki interaksi terbatas dengan masyarakat sekitar.
Kategori 3: masyarakat yang sudah menetap dan berprofesi sebagai petani, nelayan, atau berkebun.
Namun, di lapangan masih ditemukan berbagai kendala, mulai dari minimnya data akurat, belum adanya skema penyaluran manfaat yang jelas, hingga ketidakpastian wilayah kelola.
Setiap kabupaten di Jambi melaporkan kondisi KAT yang beragam.
Kabupaten Merangin mencatat 13 kelompok KAT (Suku Anak Dalam/SAD) dengan total 1.267 jiwa. Sebagian besar masih hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tingkat legalitas yang rendah.
Kabupaten Sarolangun memiliki 507 KK KAT yang sebagian besar sudah menetap dan memiliki data kependudukan. Bahkan, beberapa anggota SAD telah bekerja di perkebunan, dan ada yang menjadi anggota TNI maupun Polri.
Kabupaten Tebo memiliki 1.146 jiwa KAT yang tersebar di sembilan desa. Di sana juga terdapat Suku Talang Mamak, yang sudah menetap dan masuk kategori 3.
Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci masih dalam proses klarifikasi, karena sebagian besar masyarakat adatnya adalah petani di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Kabupaten Batanghari, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur juga memiliki kelompok KAT dengan kondisi yang berbeda-beda, dari yang masih nomaden hingga yang sudah mandiri secara ekonomi.
Di Kabupaten Muaro Jambi, sebanyak 2.473 jiwa KAT dilaporkan telah menetap dan memiliki pekerjaan tetap.
Selain pemerintah, NGO seperti KKI WARSI, Pundi Sumatera, dan Gita Buana turut berperan aktif dalam mendampingi komunitas-komunitas ini, baik dalam pemberdayaan ekonomi maupun advokasi hak masyarakat adat.
Hampir semua peserta diskusi menegaskan bahwa Dinas Sosial (Dinsos) menjadi wali data utama KAT di setiap kabupaten/kota. Dinsos bertanggung jawab melakukan pendataan, kategorisasi, dan koordinasi dengan KPH, Taman Nasional, serta lembaga pendamping lainnya.
Yunasri Basri menegaskan,
“SNPMU hanya menerima data yang diberikan oleh Dinsos. Kami tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi atau mengubah data tersebut.”
Dinsos Provinsi Jambi akan bertugas mengoordinasikan seluruh data dari kabupaten/kota, sementara Dinsos Kabupaten menjadi pelaksana lapangan yang berinteraksi langsung dengan komunitas.
Dari berbagai diskusi yang dilakukan, sejumlah tantangan utama muncul:
Belum adanya legalitas resmi (SK Gubernur/Bupati) bagi sebagian besar kelompok KAT.
Data yang belum lengkap dan belum terpisah berdasarkan kategori serta lokasi (dalam atau luar kawasan hutan).
Terbatasnya lahan penghidupan bagi KAT, terutama di wilayah yang seluruhnya sudah berstatus kawasan hutan.
Namun, di tengah tantangan itu, muncul pula berbagai kisah inspiratif. Beberapa anggota SAD di Merangin telah melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Di Tebo, KAT Talang Mamak mulai bekerja sama dengan perusahaan dan NGO dalam menjaga hutan dan mengembangkan usaha ekonomi.
Rapat koordinasi ini menegaskan bahwa pengkategorian KAT tetap berpedoman pada Permensos No. 9 Tahun 2012, dan Dinas Sosial menjadi penanggung jawab utama data. Data perlu diperbarui dan dipisahkan berdasarkan kategori dan lokasi tempat tinggal.
Selain itu, akan dilakukan pertemuan lanjutan dengan melibatkan KPH dan Taman Nasional di masing-masing kabupaten untuk memastikan validasi data KAT. Harapannya, seluruh KAT di Provinsi Jambi dapat terdata dengan baik dan memperoleh manfaat dari program BioCF secara adil dan berkelanjutan.
Penutup
Inisiatif pendataan dan penguatan peran KAT dalam program BioCF ISFL bukan hanya soal menyalurkan bantuan, tetapi juga memastikan bahwa komunitas adat dan masyarakat hutan mendapatkan tempat yang setara dalam pembangunan berkelanjutan.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga konservasi, dan organisasi masyarakat sipil, Jambi berupaya menjadikan program BioCF bukan sekadar proyek lingkungan, tetapi juga wujud nyata keadilan sosial bagi masyarakat adat yang telah lama menjaga hutan.
Tangerang, 12 Juni 2025 – Komitmen Provinsi Jambi dalam aksi iklim kini memasuki tonggak penting dengan selesainya dokumen Environmental and Social Due Diligence (ESDD) untuk Jambi Emission Reduction Program (JERP). Dokumen ini menjadi salah satu prasyarat utama bagi Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Jambi untuk mengakses pembayaran berbasis hasil (Result-Based Payment/RBP) dari World Bank dalam skema BioCarbon Fund (BioCF) melalui Program Program Pengurangan Emisi Jambi (JERP). Lebih dari itu, dokumen ini menegaskan bahwa upaya pengurangan emisi karbon di Provinsi Jambi dilaksanakan secara adil, transparan, dan bertanggung jawab terhadap aspek sosial dan lingkungan.
ESDD bukan hanya soal angka emisi—ia bicara tentang hutan, masyarakat adat, petani kecil, dan masa depan ekologis di Jambi yang keberlanjutan. Dokumen ini bukan sekadar syarat administratif. Ia menjadi bukti tanggung jawab provinsi terhadap risiko sosial dan lingkungan, serta pijakan penting menuju transisi hijau yang adil.
Demikian hasil diskusi yang memfinalkan rancangan dokumen ESDD yang dilakukan di Tangerang, 11-12 Juni. Penyusunan dilakukan oleh pemerintah daerah Jambi, Tim Safeguard nasional dan subnasional, serta konsultan independen. Kegiatan ini juga diikuti Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK, didampingi Direktur Mobilisasi Sumber Daya Pengendalian Perubahan Iklim, Ketua Sub Nasional Project Management Unit (PMU) Jambi.
Apa itu ESDD dan Apa Fungsinya?
Environmental and Social Due Diligence (ESDD) adalah dokumen penilaian yang bertujuan mengevaluasi kesesuaian implementasi program penurunan emisi dengan standar perlindungan lingkungan dan sosial. Dokumen ini berfungsi untuk: (1) menilai kepatuhan terhadap kerangka Environmental and Social Management Framework (ESMF) dan 10 standar safeguard Bank Dunia (ESS1–ESS10), (2) mengukur efektivitas pengelolaan risiko di lapangan, (3) mengidentifikasi kesenjangan sistemik dalam pelaksanaan program, dan (4) menentukan kesiapan untuk menerima pembayaran berbasis hasil (RBP). ESDD menjadi alat penting untuk memastikan akuntabilitas, transparansi, dan inklusivitas dalam agenda iklim.
Proses Penyusunan Dokumen ESDD
Penyusunan dokumen ESDD JERP telah melalui serangkaian tahapan teknis dan konsultatif, dimulai dari pertemuan awal pada 18–19 Maret 2025, yang kemudian diperkuat dalam sesi lanjutan pada 14–15 Mei 2025. Proses ini melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai sektor di tingkat nasional, provinsi, hingga tapak. Due diligence ini bukan untuk pemenuhan administratif, tetapi adalah bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia terhadap dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari JERP. Oleh karena itu, kegiatan ini perlu menyisir data kegiatan secara teliti dan memilih 14 kegiatan sampling yang mewakili keseluruhan pendekatan.
Dokumen ini disusun berdasarkan tiga komponen utama dalam Program JERP yang tertuang dokumen Emission Reduction Program Document (ERPD), yaitu: penguatan kelembagaan dan kebijakan tata kelola hutan/lahan; pengelolaan hutan dan lahan berkelanjutan serta penguatan rantai nilai rendah emisi; serta koordinasi program, pelaporan safeguard, dan sistem pengaduan (FGRM). Evaluasi terhadap ketiga komponen ini dilakukan melalui pendekatan retrospektif, yang mencakup telaah dokumen, survei elektronik, diskusi tematik, dan konsultasi dengan lebih dari 4.300 pemangku kepentingan di seluruh 11 kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Setiap komponen dievaluasi berdasarkan lima aspek utama: proses manajemen risiko lingkungan dan sosial, mekanisme persetujuan, pelibatan pemangku kepentingan, alokasi anggaran, dan keterbukaan informasi.
Instrumen Safeguard, FPIC, dan FGRM
ESDD juga dilengkapi dengan mekanisme Feedback and Grievance Redress Mechanism (FGRM) yang memungkinkan masyarakat, terutama kelompok rentan, perempuan, dan komunitas adat dapat menyampaikan keluhan secara transparan dan aman. FGRM ini menjadi instrumen penting dalam memastikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dijalankan secara menyeluruh. Penerapan FPIC telah dilakukan di 230 desa yang tersebar di 10 kabupaten/kota di Provinsi Jambi selama periode 2022–2024, dan menjadi landasan penting dalam pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat. Di sisi konservasi, kegiatan monitoring kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) sudah dilakukan lewat patroli rutin dan pemasangan kamera trap. Ke depan, kegiatan ini akan diperkuat menjadi sistem pemantauan jangka panjang yang lebih efektif dan terstruktur. Sangat penting untuk melihat ESDD sebagai instrumen untuk memperbaiki, bukan semata mengevaluasi. Kita tidak bisa bicara keberhasilan iklim tanpa bicara keadilan sosial.
ESDD hadir sebagai penjamin bahwa tidak ada satu pihak pun yang dikorbankan dalam agenda dekarbonisasi. Penguatan Sinergi REDD+ dan Green Growth di Jambi Sebagai bagian dari arsitektur REDD+ nasional, pelaksanaan JERP memperlihatkan bagaimana pendekatan berbasis yurisdiksi dapat memberikan dampak nyata jika didukung oleh kelembagaan yang solid dan keterlibatan masyarakat yang bermakna. Program ini juga menunjukkan bahwa mekanisme safeguard yang kuat tidak hanya penting untuk memenuhi persyaratan donor, tetapi juga menjadi alat penting untuk membangun kepercayaan antara pemerintah, masyarakat adat, dan mitra pembangunan.
Di sisi lain, JERP juga sejalan dengan arah pembangunan rendah karbon Provinsi Jambi yang telah dirumuskan dalam Green Growth Plan (GGP). Kolaborasi antara pemerintah daerah, mitra internasional, dan aktor lokal dalam pelaksanaan JERP memperkuat posisi GGP sebagai kerangka pembangunan berkelanjutan di tingkat provinsi. Dengan sinergi ini, Jambi tidak hanya memperjuangkan target emisi, tetapi juga memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan dapat berjalan seiring.
Catatan Redaksi
Finalisasi ESDD di Provinsi Jambi menandai bukan hanya tonggak administratif, tetapi juga kemajuan substansial dalam pelaksanaan prinsip-prinsip safeguard REDD+ di Indonesia. Dokumen ini mencerminkan bagaimana kebijakan iklim global dapat diterjemahkan secara konkret dan operasional di tingkat subnasional — dengan menempatkan hak masyarakat adat, pelibatan kelompok rentan, dan tata kelola partisipatif sebagai fondasi utama.
Keberhasilan ini menjadi model pembelajaran nasional yang menunjukkan bahwa program penurunan emisi karbon tidak hanya soal angka, tetapi tentang menjamin keberlanjutan sosial dan lingkungan secara seimbang. Dengan sistem pengaduan yang berjalan, pengakuan hukum adat yang diperkuat, dan peran aktif pemangku kepentingan lokal, Jambi kini menjadi salah satu contoh paling nyata tentang bagaimana keadilan sosial dapat menjadi inti dari aksi iklim. Inilah bentuk transisi hijau yang bukan hanya efektif, tetapi juga adil.
Muaro Jambi – Di tengah geliat pembangunan pertanian berkelanjutan, Desa Nyogan di Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi, menjadi salah satu titik terang dalam upaya peningkatan produktivitas areal tanaman rakyat. Melalui program dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan (TPHP) Provinsi Jambi, Kelompok Tani Karya Abadi mendapatkan dukungan nyata untuk meningkatkan kapasitasnya dalam bidang pengolahan pakan ternak dan kompos.
Pelatihan dan Bantuan Peralatan: Awal PerubahanPada tahun anggaran 2024, Dinas TPHP menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi para anggota Kelompok Tani Karya Abadi. Pelatihan ini tidak hanya memberi pengetahuan, tetapi juga keterampilan praktis tentang cara mengolah pakan ternak menjadi silase, serta pemanfaatan limbah peternakan dan perkebunan untuk dijadikan kompos organik.
Tak hanya pelatihan, kelompok ini juga mendapatkan bantuan sarana dan prasarana, berupa mesin granulator, mesin kultivator, bibit hijauan pakan ternak seperti odot dan indigofera, serta berbagai peralatan pendukung lainnya. Dengan dukungan ini, kelompok tani mulai memproduksi pakan dan kompos untuk kebutuhan sendiri dan lingkungan sekitar.
Dari Limbah Menjadi Pupuk: Inovasi di Tengah KeterbatasanSetelah mengikuti bimtek, anggota kelompok telah mampu mengolah limbah peternakan (kotoran, urin, sisa pakan) serta limbah perkebunan (pelepah dan limbah sawit) secara mandiri menjadi pupuk kompos dan hijauan untuk ternak. Produksi kompos memang masih berskala kecil, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan kelompok dan dijual dalam jumlah terbatas ke masyarakat desa.
Menariknya, kualitas kompos yang dihasilkan telah diuji di laboratorium tanah BSIP Kementerian Pertanian Jambi. Hasilnya cukup baik, meskipun ditemukan bahwa kadar unsur Nitrogen (N) masih rendah — padahal unsur ini sangat penting bagi pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang banyak dibudidayakan di daerah tersebut.
Tantangan di Lapangan: Penyakit Ternak dan Kurangnya Bahan BakuMeski telah menunjukkan kemajuan, perjalanan Kelompok Tani Karya Abadi tidak luput dari hambatan. Salah satu masalah serius adalah berkurangnya populasi ternak. Dari semula 12 ekor, kini hanya tersisa dua. Penyakit seperti scabies dan jembrana menjadi penyebab utama kematian ternak.
Selain itu, tidak adanya kandang permanen di desa sekitar membuat proses pengumpulan kotoran ternak untuk bahan kompos menjadi sulit. Tanpa pasokan limbah yang memadai, produksi kompos pun terhambat.
Sebagai solusi, kelompok mencoba berinovasi dengan menggunakan solid limbah pabrik sebagai bahan baku alternatif. Metode ini telah dilakukan dua kali, namun menghadapi tantangan dalam hal mobilisasi pelepah sawit yang membutuhkan sarana angkut yang layak.
Bibit Tidak Tumbuh Optimal: Musim Kemarau Jadi PenghalangUpaya lain untuk mendukung pembuatan pakan ternak seperti penanaman rumput odot dan indigofera juga belum optimal. Bantuan bibit yang diberikan saat musim kemarau menyebabkan tingkat keberhasilan tumbuh sangat rendah — hanya sekitar 30% untuk odot, sementara indigofera hampir seluruhnya mengering.
Langkah ke Depan: Perlu Dukungan LanjutanMeski menghadapi sejumlah kendala, semangat para petani di Desa Nyogan tetap tinggi. Mereka telah menunjukkan bahwa dengan pelatihan yang tepat dan alat yang memadai, pengolahan limbah bisa menjadi sumber daya produktif yang menopang kegiatan pertanian dan peternakan lokal.
Namun untuk menjaga keberlanjutan, perlu dukungan tambahan berupa:
Penanganan kesehatan ternak secara preventif,
Bantuan kandang kolektif untuk memudahkan pengumpulan limbah,
Perbaikan waktu distribusi bibit sesuai musim tanam,
Serta dukungan logistik untuk mobilisasi bahan baku.
Desa Nyogan adalah bukti bahwa ketika petani dibekali pengetahuan, alat, dan pendampingan, mereka bisa menjadi agen perubahan untuk pertanian berkelanjutan — meskipun jalan yang mereka lalui masih penuh tantangan.
Bio Carbon Fund - ISFL Jambi - Gubernur Jambi Al Haris menegaskan pentingnya sinkronisasi program antara pemerintah pusat dan daerah agar melakukan penajaman, penyelarasan program pusat dan program daerah dapat searah dalam Pembangunan. Penegasan tersebut disampaikannya saat menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi Tahun 2025-2029, bertempat di Swis Bell Hotel, Kota Jambi, Rabu (21/05/2025).
Sebelum Musrenbang ini dimulai, Gubernur Al Haris mengecek langsung satu persatu kehadiran bupati/wali kota dan langsung memberikan teguran keras kepada bupati yang tidak hadir dan hanya mengutus perwakilannya saja. Menurut Gubernur Al Haris, karena kegiatan Musrenbang ini amat penting, maka paling tidak bupati/wali kota yang berhalangan hadir dapat mengutus wakil bupati/wakil wali kota.
“Musrenbang ini sangat penting untuk melakukan sinkronisasi kegiatan program kerja kabupaten hingga pusat agar bisa sejalan. Karena Pemerintah membuat Pilkada serentak untuk menyelaraskan program kabupaten, provinsi dan nasional,” ucap Gubernur Al Haris.
Gubernur Al Haris mengemukakan, salah satu tahapan penyusunan RPJMD yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD dan RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD dan RKPD adalah Musrenbang RPJMD.
“Musrenbang RPJMD Tahun 2025-2029 adalah momentum yang penting bagi pembangunan Provinsi Jambi lima tahun kedepan, karena menjadi media untuk melakukan penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, dan program pembangunan daerah yang telah dirumuskan dalam rancangan awal RPJMD,” ungkap Gubernur Al Haris.
Pada kesempatan tersebut Gubernur Al Haris memaparkan kondisi makro Provinsi Jambi. Pada Tahun 2024 ekonomi Jambi tumbuh sebesar 4,51 persen, dan ditengah ketidakpastian global, ekonomi Jambi tetap tumbuh cukup baik pada Triwulan I 2025 sebesar 4,55 persen dibanding Triwulan I 2024 (year on year). Pada triwulan ini, pertumbuhan terjadi pada seluruh lapangan usaha, kecuali pada lapangan usaha konstruksi yang terkontraksi sebesar 0,83 persen. Sedangkan struktur PDRB Provinsi Jambi tidak menunjukkan perubahan berarti, masih didominasi oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 34,11 persen, serta lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebesar 13,83 persen.
“Tingkat Pengangguran Terbuka kondisi Februari 2025 berada pada 4,48 persen atau sama dengan kondisi Agustus 2024. Meskipun demikian, jumlah penduduk yang bekerja bertambah sebanyak 26,3 ribu orang dibanding Februari 2024 atau meningkat 1,48 persen,” papar Gubernur Al Haris.
“Untuk persentase penduduk miskin, kita berhasil menurunkan dari 7,58 persen pada Maret 2023 menjadi 7,26 persen pada September 2024. Perbaikan pada sebagian besar indikator makro tersebut tidak terlepas dari keberhasilan Provinsi Jambi dalam mengendalikan tingkat inflasi pada kisaran 1,43 persen pada Tahun 2024 yang lalu dan inflasi hingga April 2025 sebesar 2,1 persen (year to date),” lanjutnya.
Gubernur Al Haris, mengacu pada isu strategis dan Visi JAMBI MANTAP Berdaya Saing dan Berkelanjutan Tahun 2029 di bawah Ridho Allah SWT, terdapat tiga misi yang akan dilaksanakan. “Ada tiga misi yang akan dilaksanakan, (1) Memantapkan Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Efisien, (2) Memantapkan Daya Saing Daerah dan Produktivitas Bidang Pertanian, Perdagangan, Industri dan Pariwisata, serta (3) memantapkan keberlanjutan pembangunan dan kualitas sumber daya manusia,” kata Gubernur Al Haris.
“Misi pertama memiliki tujuan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan adaptif. Sedangkan Misi kedua, memiliki tujuan meningkatnya daya saing daerah dengan mengoptimalkan sektor unggulan. Sementara Misi ketiga memiliki dua tujuan, yaitu pertama terwujudnya sistem perekonomian yang rendah karbon, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan inklusif secara sosial, serta tujuan kedua terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, berbudaya dan berkesetaraan gender,” sambungnya.
Lebih lanjut Gubernur Al Haris juga menuturkan, kedepan ini ada 12 program prioritas yang akan dilaksanakan lima tahun kedepan, yaitu (1) Reformasi Birokrasi, (2) Digitalisasi pelayanan public, (3) Peningkatan Kapasitas Fiskal Daerah, (4) Pengembangan Kawasan dan Infrastruktur Sektor Pertanian, Perdagangan, Industri dan Pariwisata, (5) Pengembangan Ekosistem Start Up, Inovasi Teknologi dan Transformasi Digital Produk UMKM dan Koperasi, (6) Peningkatan Produktivitas Lahan Pertanian Mendukung Lumbung Pangan Desa dan Daerah, (7) Pengembangan Wilayah Strategis Sengeti Tungkal Sabak atau SENTUSA sebagai Kawasan Cepat Tumbuh, (8) Fasilitasi Percepatan Ketahanan Energi Mendukung Kawasan Strategis, (9) Percepatan Pengembangan sistem logistik transportasi daerah, (10) Penguatan Sistem Kesehatan Primer dan Peningkatan Kualitas Pendidikan, (11) Program Jaringan Majukan Jambi yang disingkat PRO-JAMBI, dan (12) Penurunan Emisi GRK Menuju Net Zero Emission.
“Khusus PRO JAMBI, Program ini merupakan Quick Wins dalam upaya percepatan pengurangan ketimpangan pembangunan dan penurunan kemiskinan yang akan dilakukan setiap tahun selama kepemimpinan kami. Program ini akan dilaksanakan oleh Perangkat Daerah untuk menu yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi, serta berupa bantuan keuangan untuk menu yang bukan kewenangan Pemerintah Provinsi. Menu pertama adalah Pro Jambi Cerdas dengan kegiatan bantuan biaya pendidikan bagi siswa SMA/SMK dari keluarga kurang mampu, dan beasiswa S1, S2 dan S3 untuk umum, serta pendidikan vokasi secara kemitraan dengan Lembaga/Dunia Usaha baik dalam maupun luar negeri,” tutur Gubernur Al Haris.
Selain itu, Gubernur Al Haris juga mengungkapkan, Menu kedua adalah Pro Jambi sehat, antara lain berupa subsidi BPJS kesehatan bagi keluarga miskin, bantuan gizi bagi ibu hamil, balita dan remaja, serta gerakan masyarakat hidup sehat. Menu ketiga adalah Pro Jambi Tangguh, antara lain berupa bedah rumah, bantuan modal kerja bagi UMKM/ Industri Rumah Tangga/start up/milenial, bantuan sarana prasarana pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan, bantuan operasional lembaga adat, peningkatan life skill milenial/Gen Z siap kerja, job fair atau bursa kerja mantap berdaya saing, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian bagi Tenaga Kerja Rentan, serta kredit murah 2 persen bagi petani, nelayan dan pedagang pasar tradisional. Menu ke-empat adalah Pro Jambi Responsif, berupa bantuan bagi disabilitas, anak terlantar, lansia dan tuna sosial, insentif Babinsa/ Babinkamtibmas, membentuk Desa BERSINAR atau Desa Bersih Narkoba dan saluran Lapor Wak DUL (Wo Haris dan Pak Dul) yang menghimpun aspirasi dan layanan pengaduan masyarakat.
“Menu terakhir adalah Pro Jambi Agamis, berupa honorarium bagi pegawai syara, guru mengaji dan Madrasah Diniyah Takmiliyah serta Pondok Pesantren, honorarium Dai kecamatan, bantuan biaya umroh gratis bagi guru mengaji, hafidz quran dan pegawai syara berprestasi, dan program satu desa satu hafidz alqur’an,” ungkap Gubernur Al Haris.
Gubernur Al Haris juga mengajak seluruh bupati/wali kota se-Provinsi Jambi untuk berkomitmen bersama dalam mencapai target-target pembangunan Provinsi Jambi. Komitmen yang sama juga pada seluruh Kepala Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi. “Kita semua harus lebih intensif dalam berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, termasuk koordinasi antar kita di Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi serta para pemangku kepentingan lainnya, agar pembangunan yang kita laksanakan dapat bersinergi, memiliki daya ungkit, serta memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat,” tutup Gubernur Al Haris.
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) RI, Bima Arya Sugiarto dalam sambutannya sangat mendukung teguran Gubernur kepada dua kepala daerah yang tidak mengutus wakilnya dengan peringatan keras, karena tak hadir dan tak diwakili oleh wabupnya untuk hadir di Musrenbang RPJMD Jambi 2025-2029. “Cara disiplin yang ditunjukkan Gubernur Al Haris kepada para bupati merupakan yang ditanamkan dalam retret dari menteri ke gubernur. Itu yang harus dipahami bupati/wali kota untuk merapikan birokrasi kita,” ujar Wamendagri Bima Arya.
Bima Arya juga menjelaskan, Presiden Prabowo terinspirasi oleh tokoh reformis Cina, Deng Xiaoping. Tokoh tersebut diketahui berhasil mendorong perubahan signifikan dinegaranya hingga mampu menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar didunia. Semangat tersebut diharapkan juga dapat dimiliki oleh para pemimpin di Indonesia. “Saya mengajak Bapak-Ibu memahami jalan pikiran Presiden sebelum kita mengotak-atik RPJMD dan lain sebagainya,” jelasnya.
Dalam Musrenbang ini Gubernur Al Haris dan Ketua DPRD Provinsi Jambi M. Hafiz juga menyaksikan langsung Penandatanganan Kesepakatan Berita Acara Musrenbang RPJMD Provinsi Jambi Tahun 2025-2029 oleh para bupati/wali kota se-Provinsi Jambi.
Hutan Indonesia adalah salah satu anugerah alam yang tidak ternilai harganya. Di dalamnya tersimpan tidak hanya kekayaan ekologi yang menjaga keseimbangan bumi, tetapi juga potensi ekonomi yang luar biasa. Tak terkecuali di hutan di wilayah Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Unit VIII Hilir Sarolangun, Provinsi Jambi, yang mengelola hutan seluas 110.372 hektare. Wilayah ini terdiri dari berbagai jenis tutupan lahan, termasuk hutan sekunder yang sempat mengalami penurunan luas sebesar 8.576 hektare (7,77 persen) antara tahun 2000 hingga 2019. Untuk mengatasi penurunan jumlah tutupan dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi masyarakat sekitar hutan, dapat dilakukan salah satunya dengan mengoptimalkan keberadaan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
HHBK ini menjadi peluang besar bagi masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan. Pengelolaan HHBK di wilayah ini pun bisa menjadi salah satu contoh nyata bahwa hutan Indonesia tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi juga berbagai produk bernilai ekonomi tinggi yang mampu mengangkat perekonomian masyarakat sekitar dan menambah devisa negara. Keanekaragaman HHBK di wilayah Sarolangun mencakup produk-produk seperti minyak kepayang, madu hutan, garam gunung, kembang semangkok, rotan, bambu, serai wangi, dan minyak sengkawang. Setiap produk ini memiliki nilai tersendiri, baik sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat lokal maupun sebagai simbol kekayaan alam Indonesia yang harus dijaga. Salah satu unggulannya adalah minyak kepayang, yang dikenal sebagai minyak goreng tanpa kolesterol, kaya omega-3 alami, dan bebas pestisida. Selain itu, minyak ini diolah menjadi produk turunan seperti sabun, lotion, dan minyak urut "Kepayang Message," yang membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat.
Selain kepayang, masyarakat lokal juga memproduksi garam gunung dari air asin alami yang kaya yodium. Meski masih menggunakan metode tradisional, garam ini telah dipasarkan hingga Pulau Jawa. Dukungan teknologi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas produksinya. Pemanfaatan madu hutan dari lebah Apis dorsata di kawasan ini juga mendukung keberlanjutan ekosistem. Madu hutan yang dipanen secara lestari telah menjadi produk unggulan dengan kualitas yang tinggi. Rotan dan bambu turut berkontribusi melalui berbagai kerajinan tangan hasil kelompok tani hutan, seperti tikar dan miniatur kapal pesiar. Usaha ini melibatkan ibu rumah tangga, sekaligus menjaga kelestarian hutan. Serai wangi dan minyak sengkawang menjadi komoditas lain dengan nilai ekonomi tinggi. Serai wangi diolah menjadi minyak atsiri untuk produk kecantikan, sedangkan minyak sengkawang dijual dengan harga tinggi, mencerminkan keanekaragaman potensi hutan Indonesia yang mendukung ekonomi berkelanjutan.
Namun, keberhasilan pengelolaan HHBK di Jambi juga memerlukan dukungan berbagai pihak termasuk salah satu inisiatif yang melibatkan KPHP Unit VIII Hilir Sarolangun sebagai unit pelaksana program yakni BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL). Program yang didanai Bank Dunia ini mengupayakan pendekatan komprehensif dalam mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat.
Program BioCF ISFL di Jambi bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan dan lanskap secara berkelanjutan, dengan fokus pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, sekaligus meningkatkan mata pencaharian masyarakat. Dalam konteks pengelolaan HHBK di KPHP Hilir Sarolangun, program ini bisa menjadi contoh konkret terkait pelibatan berbagai pihak untuk mewujudkan inisiatif positif, misalnya dari sisi adanya pendampingan teknis dan pelatihan untuk masyarakat lokal. Program ini menyediakan pelatihan kepada masyarakat lokal untuk meningkatkan kualitas produk HHBK, seperti minyak kepayang, madu hutan, dan rotan. Pendampingan ini mencakup teknik produksi berkelanjutan, pengemasan, hingga strategi pemasaran.
Selain itu, ada dukungan infrastruktur dan transfer teknologi dimana program yang melibatkan KLHK sebagai Komisi Teknis Nasional ini membantu meningkatkan efisiensi produksi, dari sisi penyediaan alat-alat modern untuk penyulingan minyak atsiri, teknologi pengolahan madu, dan pengolahan garam gunung. Dengan teknologi ini, masyarakat mampu meningkatkan hasil produksi dan kualitas produk. Melalui program ini pula berbagai produk HHBK dari Jambi, seperti madu hutan dan minyak kepayang, telah diperkenalkan ke pasar nasional dan internasional. Misalnya, madu hutan dari kawasan ini sempat dipamerkan dalam ajang-ajang pameran produk kehutanan. Kelompok tani hutan di wilayah ini juga menerima pelatihan manajemen usaha, sehingga mereka mampu menjalankan usaha HHBK secara lebih profesional dan berkelanjutan.
Melalui program ini juga ada edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Pendekatan ini memastikan bahwa pemanfaatan HHBK dilakukan tanpa merusak ekosistem, seperti melalui teknik panen madu yang lestari. Program-program serupa ini ke depan perlu lebih banyak dikembangkan sebagai bentuk nyata kolaborasi pemerintah dan mitra pembangunan dalam mengimplementasikan intervensi strategis untuk mendukung HHBK. Ke depan juga sudah saatnya dikembangkan perencanaan lanskap berbasis data sebab pemetaan potensi HHBK yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi geospasial dapat lebih presisi dalam menentukan wilayah prioritas pengembangan HHBK yang lestari. Berbagai program inisiatif pengurangan emisi juga harus diarahkan untuk mendorong investasi hijau melalui kemitraan dengan sektor swasta, seperti perusahaan yang membeli produk HHBK langsung dari petani atau kelompok tani hutan.
HHBK juga harus diintegrasikan dalam strategi mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi karbon dari deforestasi, yang juga memberi manfaat tambahan berupa insentif keuangan kepada masyarakat lokal. Keberhasilan intervensi melalui program-program pengurangan emisi di hutan Jambi pada akhirnya akan terlihat dari berbagai parameter penting di antaranya meningkatnya kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Dengan meningkatnya pendapatan dari HHBK, masyarakat tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mengakses pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik.
Selain itu, pendekatan yang mengintegrasikan pengelolaan lanskap hutan dan pengembangan ekonomi akan menjadi bukti efektivitas program dalam menekan laju deforestasi dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Maka ke depan diharapkan hutan Jambi bisa memberikan contoh konkret bahwa potensi HHBK dapat dikembangkan sebagai motor penggerak ekonomi yang sejalan dengan pelestarian lingkungan.