 
                                        Jambi, 13 Oktober 2025 – Pemerintah Provinsi Jambi kembali menegaskan komitmennya dalam memperkuat peran Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha (TJSLBU/CSR) sebagai instrumen penting dalam pembangunan berkelanjutan dan penurunan emisi. Melalui kegiatan yang difasilitasi oleh Bappeda Provinsi Jambi, berbagai pemangku kepentingan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga sektor swasta berkumpul untuk menyelaraskan arah program CSR dengan prioritas pembangunan daerah.
Dalam sambutannya, Sekretaris Bappeda Provinsi Jambi menyoroti pentingnya peningkatan partisipasi sektor swasta dalam menghasilkan Emission Reduction (ER) dalam kerangka program BioCF ISFL tahun 2025. Sejak memasuki fase Pre-Investment di tahun 2022, Provinsi Jambi telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 82,38 miliar dengan dukungan dari lima perangkat daerah utama: Bappeda, Dinas TPHP, Dinas Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan.
Pertemuan ini secara khusus membahas implementasi program TJSLBU/CSR yang mendukung penurunan emisi dan menampilkan praktik-praktik terbaik (best practices) dalam pengelolaan dana CSR di berbagai daerah. Tujuan utamanya adalah membangun sinergi dan sinkronisasi antara pemerintah dan pelaku usaha agar CSR menjadi bagian integral dalam pembangunan daerah.
Peran Strategis Dinas Sosial dan Forum TJSLBU
Kepala Dinas Sosial Dukcapil Provinsi Jambi, yang diwakili oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial, menegaskan peran Dinas Sosial dalam melakukan pembinaan, pengawasan, serta pengembangan kapasitas badan usaha dalam melaksanakan TJSLBU. Berdasarkan Permensos Nomor 9 Tahun 2020, setiap badan usaha wajib melaporkan kegiatan CSR secara berkala kepada pemerintah, dengan laporan berisi informasi program, anggaran, dan dokumentasi kegiatan.
Pada tahun 2024, berbagai inisiatif telah dijalankan dengan pembiayaan CSR, seperti perbaikan infrastruktur jalan dan pengadaan alat transportasi untuk operasional dinas, menunjukkan kontribusi nyata dunia usaha terhadap pembangunan daerah. Forum TJSLBU Provinsi Jambi juga tengah mengembangkan sistem berbasis web untuk penguatan database dan peningkatan profesionalitas pengurus forum hingga tahun 2027.
Keterlibatan Aktif Kabupaten/Kota
Paparan dari Bappeda Kabupaten Tanjung Jabung Barat mengungkapkan bahwa pelaksanaan TJSLP (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan) telah menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah. Kendati belum seluruhnya terkoordinasi secara optimal, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya agar perusahaan lebih terlibat secara aktif dan terarah. Mulai dari proses musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes) hingga pengusulan program prioritas, perusahaan diarahkan untuk mendanai kegiatan yang tidak dapat ditanggung APBD.
Bappeda Tanjung Jabung Timur juga menekankan pentingnya sinergi antara CSR dan program daerah. Kebijakan CSR mereka, yang tertuang dalam Perda Nomor 13 Tahun 2013, telah diarahkan untuk menyentuh kebutuhan nyata masyarakat, dengan fokus pada penguatan ekonomi, sosial budaya, hingga pembangunan infrastruktur desa.
Diskusi: Tantangan dan Rekomendasi
Forum diskusi yang berlangsung memperlihatkan kesamaan tantangan di berbagai kabupaten/kota, terutama dalam hal pelaporan dan koordinasi dengan perusahaan. Beberapa daerah, seperti Sarolangun dan Batanghari, mengeluhkan kurangnya laporan dari badan usaha serta rendahnya kesadaran sektor swasta dalam mendukung program pemerintah.
Sebagai respons, beberapa strategi dari daerah lain dipaparkan. Kabupaten Tanjung Jabung Barat, misalnya, mendorong komunikasi intensif dan memberikan penghargaan tahunan kepada perusahaan aktif sebagai bentuk apresiasi. Sementara di Tanjung Jabung Timur, komunikasi kepala daerah langsung dengan pimpinan perusahaan dinilai efektif dalam meningkatkan partisipasi.
Langkah ke Depan: Peraturan dan Standarisasi
Sebagai tindak lanjut, Bappeda Provinsi Jambi berencana menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai turunan dari Perda CSR Provinsi. Pergub ini akan mengatur mekanisme koordinasi, peran tim fasilitasi, dan sistem pelaporan yang terintegrasi. Selain itu, akan dilakukan perombakan manajemen Forum CSR Provinsi Jambi untuk meningkatkan efektivitas koordinasi.
Dinas Sosial Provinsi Jambi juga diberi mandat untuk memperkuat pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan CSR di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah daerah pun diminta untuk menyesuaikan peraturan mereka agar sejalan dengan regulasi nasional, khususnya Permensos Nomor 9 Tahun 2020.
Fokus 2025: Peningkatan Sosial dan Lingkungan
Provinsi Jambi berkomitmen untuk mengarahkan dana CSR kepada dua sasaran utama: penurunan emisi karbon dan peningkatan kesejahteraan sosial. Terdapat 12 kategori kelompok masyarakat yang menjadi prioritas penerima manfaat, mulai dari anak-anak rentan, lansia terlantar, penyandang disabilitas, korban bencana, hingga fakir miskin dan komunitas adat terpencil.
CSR tidak lagi sekadar formalitas perusahaan, melainkan menjadi bagian strategis dari pembangunan berkelanjutan. Melalui sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha, Provinsi Jambi berharap dapat mewujudkan pembangunan inklusif, hijau, dan berkelanjutan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
Penutup
Momentum pertemuan ini menjadi langkah awal untuk menyatukan persepsi dan langkah konkret dalam mengintegrasikan CSR ke dalam agenda pembangunan daerah. Sinergi lintas sektor dan regulasi yang kuat diharapkan mampu menjadikan Jambi sebagai contoh implementasi TJSLBU yang sukses dan berkelanjutan di Indonesia.
 
                                        -thumb.jpg) 
                                        Di balik dinginnya udara Kayu Aro, Kerinci, tersembunyi sebuah danau rawa yang menampung lebih dari sekadar air dan burung-burung endemik: Rawa Bento, dan kisah perubahan yang luar biasa.
Beberapa tahun silam, Rawa Bento dikenal bukan karena keindahannya, tetapi karena sunyinya yang sering dinodai aktivitas ilegal. Perburuan burung dan peracunan ikan adalah pemandangan lumrah—sebuah ironi di tengah lanskap alam yang mestinya dilestarikan.
Namun semuanya mulai berubah ketika sekelompok pemuda lokal mengambil inisiatif. Mereka membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Rawa Bento, dengan semangat melindungi alam sembari membuka peluang ekonomi baru bagi warga sekitar. Dengan dukungan dari Taman Nasional Kerinci Seblat, kelompok ini mulai menata kawasan rawa menjadi tujuan wisata berbasis konservasi.
Pada awalnya, mereka hanya memiliki perahu dayung untuk mengantar wisatawan menyusuri danau. Jumlah pengunjung pun sangat terbatas. Promosi dilakukan seadanya: cukup dengan menyebarkan nomor kontak ke beberapa homestay di kawasan Kayu Aro. Anehnya, justru wisatawan mancanegara yang pertama kali tertarik datang. Mereka mencari keheningan, kealamian, dan pengalaman yang otentik—semuanya ada di Rawa Bento.
Namun titik balik datang pada tahun 2021. Melalui program BioCarbon Fund (BioCF), kelompok ini mendapat bantuan dua unit perahu mesin. Akses menjadi lebih mudah, pengalaman wisata pun semakin nyaman. Pada saat yang sama, mereka mulai aktif menggunakan media sosial untuk memperkenalkan Rawa Bento kepada masyarakat luas.
Hasilnya luar biasa. Dari yang semula hanya 2 hingga 3 pengunjung per minggu, kini Rawa Bento menerima rata-rata 70 wisatawan setiap minggu. Tak hanya turis asing, kini wisatawan lokal pun mulai berdatangan, tertarik oleh keindahan rawa yang juga dikenal sebagai habitat burung-burung liar langka.
Lebih dari sekadar wisata, kehadiran Pokdarwis Rawa Bento telah menciptakan efek domino positif: praktik-praktik merusak lingkungan menghilang, masyarakat mendapat penghasilan tambahan, dan kesadaran akan pentingnya konservasi meningkat.
Rawa Bento hari ini adalah bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Dari dayung yang perlahan melaju di atas air tenang, menuju suara mesin yang mengantar harapan.
-thumb.jpg) 
                                        Di lereng-lereng hijau Desa Jangkat, Merangin, pagi datang bersama embun yang menempel di daun-daun muda kopi dan kayu manis. Angin membawa aroma tanah basah dan harapan yang perlahan mulai tumbuh bersama ribuan bibit yang kini menghiasi ladang-ladang petani.
Dulu, petani di desa ini terbiasa berjalan jauh ke dalam hutan untuk mencari bibit. Kalau tidak beruntung, mereka harus membeli dengan harga tinggi—sebuah beban tambahan di tengah tantangan hidup dari tanah yang sering kali tak cukup subur karena terbatasnya pupuk dan perawatan. Namun, semuanya mulai berubah sejak KPHP Merangin hadir membawa program rehabilitasi melalui dana BioCF ISFL.
Pada tahun 2024, sebanyak 25.000 bibit diturunkan ke Desa Jangkat. Bibit-bibit itu terdiri dari kopi, kayu manis, alpukat, dan beberapa komoditas lainnya. Bantuan ini tidak sekadar angka di atas kertas; ia hadir dalam bentuk tanaman muda yang kini menghijaukan lahan-lahan masyarakat.
“Dulu kami harus ambil bibit dari hutan, itu pun belum tentu tumbuh baik. Sekarang kami punya bibit unggul, gratis, dan ada pupuk juga,” ujar salah satu petani sambil membersihkan rumput liar di sekitar tanaman kopinya yang baru berumur dua bulan.
Program ini ditujukan bagi petani yang memiliki lahan maksimal dua hektar, dengan total luas distribusi bibit di satu desa tidak melebihi 50 hektar. Pendekatan ini tidak hanya mendukung petani kecil, tetapi juga menjaga keseimbangan agar rehabilitasi berjalan berkelanjutan dan terkontrol.
Tak hanya bibit dan pupuk, setiap petani yang berpartisipasi juga menerima insentif penanaman senilai Rp2.000.000. Uang ini menjadi penyemangat tambahan, sekaligus membantu memenuhi kebutuhan dasar selama masa awal tanam yang biasanya belum menghasilkan.
Namun, yang paling penting dari semuanya adalah perubahan pola pikir yang perlahan mulai tumbuh bersama tanaman-tanaman muda itu. Jika dulu membuka hutan dianggap satu-satunya jalan untuk memperluas lahan dan meningkatkan hasil, kini para petani mulai sadar bahwa menjaga hutan sambil meningkatkan produktivitas di lahan yang ada adalah jalan yang lebih bijak.
“Kalau dulu lahan kami kurang hasil, ya buka hutan. Tapi sekarang, cukup rawat yang ada. Tanam bibit bagus, beri pupuk, insya Allah hasilnya lebih baik,” kata petani lainnya, dengan senyum percaya diri yang belum lama ini jarang terlihat.
Desa Jangkat kini menjadi gambaran dari harapan yang menetas dari program yang menyentuh langsung akar persoalan: akses, ekonomi, dan lingkungan. Perlahan, desa ini menanam lebih dari sekadar pohon—mereka menanam masa depan.
-thumb.jpg) 
                                        Desa Renah, Kabupaten Bungo – Di tengah perkebunan sawit yang menghijau di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkoang, sebuah koperasi tani menjadi simbol transformasi pertanian berkelanjutan. Koperasi Unit Desa (KUD) Jaya Indah Bersama, yang berlokasi di Desa Renah, kini tak hanya menjadi tempat berkumpulnya para petani, tapi juga pusat penggerak perubahan melalui penerapan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Dengan total 317 anggota, koperasi ini telah membawa 100 petaninya menuju era baru dalam pengelolaan kebun sawit. Mereka adalah bagian dari kelompok petani mandiri yang kini telah mengantongi sertifikat ISPO — sebuah tonggak penting yang menjamin praktik pertanian mereka memenuhi standar keberlanjutan nasional.
Harga Lebih Baik, Hidup Lebih LayakSertifikasi ISPO bukan hanya tentang dokumen di atas kertas. Manfaat nyatanya dirasakan langsung oleh petani. Sebelum tersertifikasi, para anggota KUD Jaya Indah Bersama hanya bisa menjual Tandan Buah Segar (TBS) ke tengkulak atau pengepul dengan harga swadaya yang lebih rendah. Kini, dengan adanya sertifikasi, koperasi memiliki akses untuk menjual TBS ke mitra perusahaan besar dengan harga acuan dari Dinas Perkebunan (Disbun) — sebuah lompatan signifikan dalam meningkatkan pendapatan petani.
Selisih harga antara sawit bersertifikat dan non-sertifikat bisa mencapai Rp. 400 hingga Rp. 500 per kilogram, angka yang sangat berarti bagi petani kecil. Dengan panen yang dilakukan setiap 15 hingga 20 hari, dan hasil antara 3 hingga 7 ton per anggota, kenaikan harga ini berdampak langsung terhadap kesejahteraan keluarga petani.
Sistem yang Lebih TertataProses pengumpulan sawit kini dilakukan secara terorganisir. Setiap anggota menyetorkan hasil panennya ke KUD Jaya Indah Bersama, yang kemudian mengelola penyalurannya ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Meski dikenakan biaya operasional sebesar Rp. 85.000, sistem ini jauh lebih transparan dan menguntungkan dibandingkan menjual secara individu.
Sertifikasi ISPO sendiri berlaku selama lima tahun, namun untuk mempertahankannya, koperasi wajib menjalani audit tahunan. Proses ini memastikan bahwa praktik budidaya sawit tetap mengikuti prinsip keberlanjutan, mulai dari aspek lingkungan, sosial, hingga manajemen usaha.
Tantangan dan HarapanKetua koperasi, dalam wawancara singkat, menyampaikan bahwa perjalanan menuju sertifikasi tidak selalu mudah. “Butuh waktu dan pembinaan untuk mengubah kebiasaan petani, terutama soal pencatatan dan pengelolaan limbah,” ujarnya. Namun, ia optimis bahwa jumlah anggota bersertifikat akan terus bertambah dalam waktu dekat.
Kini, KUD Jaya Indah Bersama bukan hanya tempat berkumpul dan menjual hasil panen, tapi telah menjadi simbol bahwa petani sawit rakyat pun bisa maju dan berdaya saing — asalkan diberi peluang dan pendampingan yang tepat.
Kisah KUD Jaya Indah Bersama adalah bukti nyata bahwa sertifikasi ISPO bukan sekadar formalitas. Ia adalah jembatan menuju pertanian yang lebih adil, ramah lingkungan, dan menguntungkan bagi petani.
 
                                        Di pagi yang sejuk di Desa Laman Panjang, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, wangi kopi segar menyeruak dari rumah-rumah petani. Aroma yang dulu hanya dinikmati saat panen dan tak pernah keluar dari bentuk gabah, kini menjelma dalam kemasan berlabel rapi: Kopi Desa Laman Panjang.
Tak banyak yang menyangka, perubahan besar ini terjadi hanya dalam hitungan bulan.
Dulu, kelompok petani yang tergabung dalam KUPS Kopi Agam Maju Bersama hanya bisa menjual kopi mereka dalam bentuk mentah—gabah yang dikeringkan seadanya, kemudian dibawa ke tengkulak. Dengan harga jual hanya sekitar Rp55.000 per kilogram, hasil panen 2 ton kopi mentah hanya menghasilkan antara Rp20 juta hingga Rp40 juta. Bukan jumlah yang kecil, tapi jauh dari potensi sesungguhnya.
“Waktu itu, kami belum tahu cara mengolah kopi sampai jadi bubuk. Jadi ya, hanya bisa jual apa adanya,” kata Maskur, ketua kelompok petani kopi agam maju bersama dengan nada pasrah yang kini sudah berganti optimisme.
Harapan datang ketika KPHP Bungo hadir lewat program pendanaan BioCarbon Fund (BioCF). Kelompok petani ini mendapat bantuan berupa mesin pengupas kulit kopi hingga mesin roasting serta pelatihan mengolah kopi dari hulu ke hilir. Mesin itu—meski tak sebesar yang dimiliki pabrik besar—menjadi simbol perubahan nasib.
Kini, mereka tak lagi menjual biji kopi mentah. Mereka memanggang, menggiling, lalu mengemas kopi sendiri. Dari biji yang sama, hasilnya jauh berbeda. Satu kilogram kopi bisa menghasilkan sekitar 700 gram bubuk kopi. Jika dijual per bungkus 100 gram dengan harga Rp19.000, pendapatan mereka naik berkali lipat.
Setiap dua minggu, kelompok ini mampu memproduksi 250 bungkus kopi bubuk. Jumlah ini bisa menghasilkan hampir Rp4,75 juta. Dan ini bukan lagi penjualan gabah musiman, melainkan produk yang bisa terus dijual sepanjang tahun.
Lebih dari sekadar keuntungan, perubahan ini memberikan harga diri baru bagi para petani. Mereka kini tahu bahwa kopi mereka bernilai tinggi, dan bahwa mereka mampu mengolahnya sendiri.
“Sekarang, kami tak lagi hanya menanam dan menunggu panen. Kami juga belajar tentang rasa, kualitas, dan cara menjual. Ini bukan sekadar kopi, ini masa depan,” lanjut Maskur dengan bangga.
Dusun Laman Panjang memang terpencil. Tapi dari sini, aroma perubahan mulai menyebar. Dan seperti kopi yang semakin harum setelah dipanggang, semangat para petani pun kini makin menguat—karena mereka tahu, mereka bisa naik kelas.
 
                                        Jambi – Provinsi Jambi menjadi salah satu daerah yang mendapatkan Dana Hibah BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL) dari Bank Dunia, menyusul Kalimantan Timur sebagai provinsi pertama penerima dana serupa. Program ini merupakan upaya global untuk mendukung pengurangan emisi berbasis lanskap, pelestarian hutan, serta pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Menurut Ir. H. Sepdinal, M.E, Ketua SNPMU BioCF ISFL Provinsi Jambi, seluruh entitas yang memiliki legalitas dan bergerak di kawasan hutan berpeluang menerima dana berbasis kinerja (Result-Based Payment atau RBP). Namun, posisi Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam skema ini masih memerlukan perhatian khusus, terutama karena sebagian besar belum memiliki dasar legalitas formal atau Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah.
“KAT bisa masuk dalam kelompok kinerja, tapi karena belum berlegalitas, maka penyaluran dananya tidak bisa langsung ke komunitas. Mereka perlu bergabung dengan pengelola kawasan seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) atau Taman Nasional (TN),” jelas Sepdinal.
Dalam kondisi seperti itu, KPH atau TN berkewajiban membantu mendanai dan membina kegiatan KAT yang berada di wilayahnya. Sementara bagi KAT yang tinggal di luar kawasan hutan, peluang bantuan lebih mengarah pada alokasi sosial ekonomi berbasis desa.
Yunasri Basri, dari bidang Safeguard BioCF ISFL Provinsi Jambi, menjelaskan bahwa pelaksanaan BioCF harus mengacu pada Environmental and Social Standards Bank Dunia, yang meliputi penilaian dampak sosial-lingkungan, konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan komunitas adat, serta pelestarian warisan budaya.
Khusus untuk KAT, dasar hukum nasional yang digunakan adalah Permensos No. 9 Tahun 2012 dan Permensos No. 12 Tahun 2015, yang mengelompokkan KAT menjadi tiga kategori:
Kategori 1: komunitas pemburu dan peramu yang hidup berpindah dan minim interaksi dengan dunia luar.
Kategori 2: peladang berpindah yang sudah memiliki interaksi terbatas dengan masyarakat sekitar.
Kategori 3: masyarakat yang sudah menetap dan berprofesi sebagai petani, nelayan, atau berkebun.
Namun, di lapangan masih ditemukan berbagai kendala, mulai dari minimnya data akurat, belum adanya skema penyaluran manfaat yang jelas, hingga ketidakpastian wilayah kelola.
Setiap kabupaten di Jambi melaporkan kondisi KAT yang beragam.
Kabupaten Merangin mencatat 13 kelompok KAT (Suku Anak Dalam/SAD) dengan total 1.267 jiwa. Sebagian besar masih hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tingkat legalitas yang rendah.
Kabupaten Sarolangun memiliki 507 KK KAT yang sebagian besar sudah menetap dan memiliki data kependudukan. Bahkan, beberapa anggota SAD telah bekerja di perkebunan, dan ada yang menjadi anggota TNI maupun Polri.
Kabupaten Tebo memiliki 1.146 jiwa KAT yang tersebar di sembilan desa. Di sana juga terdapat Suku Talang Mamak, yang sudah menetap dan masuk kategori 3.
Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci masih dalam proses klarifikasi, karena sebagian besar masyarakat adatnya adalah petani di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Kabupaten Batanghari, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur juga memiliki kelompok KAT dengan kondisi yang berbeda-beda, dari yang masih nomaden hingga yang sudah mandiri secara ekonomi.
Di Kabupaten Muaro Jambi, sebanyak 2.473 jiwa KAT dilaporkan telah menetap dan memiliki pekerjaan tetap.
Selain pemerintah, NGO seperti KKI WARSI, Pundi Sumatera, dan Gita Buana turut berperan aktif dalam mendampingi komunitas-komunitas ini, baik dalam pemberdayaan ekonomi maupun advokasi hak masyarakat adat.
Hampir semua peserta diskusi menegaskan bahwa Dinas Sosial (Dinsos) menjadi wali data utama KAT di setiap kabupaten/kota. Dinsos bertanggung jawab melakukan pendataan, kategorisasi, dan koordinasi dengan KPH, Taman Nasional, serta lembaga pendamping lainnya.
Yunasri Basri menegaskan,
“SNPMU hanya menerima data yang diberikan oleh Dinsos. Kami tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi atau mengubah data tersebut.”
Dinsos Provinsi Jambi akan bertugas mengoordinasikan seluruh data dari kabupaten/kota, sementara Dinsos Kabupaten menjadi pelaksana lapangan yang berinteraksi langsung dengan komunitas.
Dari berbagai diskusi yang dilakukan, sejumlah tantangan utama muncul:
Belum adanya legalitas resmi (SK Gubernur/Bupati) bagi sebagian besar kelompok KAT.
Data yang belum lengkap dan belum terpisah berdasarkan kategori serta lokasi (dalam atau luar kawasan hutan).
Terbatasnya lahan penghidupan bagi KAT, terutama di wilayah yang seluruhnya sudah berstatus kawasan hutan.
Namun, di tengah tantangan itu, muncul pula berbagai kisah inspiratif. Beberapa anggota SAD di Merangin telah melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Di Tebo, KAT Talang Mamak mulai bekerja sama dengan perusahaan dan NGO dalam menjaga hutan dan mengembangkan usaha ekonomi.
Rapat koordinasi ini menegaskan bahwa pengkategorian KAT tetap berpedoman pada Permensos No. 9 Tahun 2012, dan Dinas Sosial menjadi penanggung jawab utama data. Data perlu diperbarui dan dipisahkan berdasarkan kategori dan lokasi tempat tinggal.
Selain itu, akan dilakukan pertemuan lanjutan dengan melibatkan KPH dan Taman Nasional di masing-masing kabupaten untuk memastikan validasi data KAT. Harapannya, seluruh KAT di Provinsi Jambi dapat terdata dengan baik dan memperoleh manfaat dari program BioCF secara adil dan berkelanjutan.
Penutup
Inisiatif pendataan dan penguatan peran KAT dalam program BioCF ISFL bukan hanya soal menyalurkan bantuan, tetapi juga memastikan bahwa komunitas adat dan masyarakat hutan mendapatkan tempat yang setara dalam pembangunan berkelanjutan.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga konservasi, dan organisasi masyarakat sipil, Jambi berupaya menjadikan program BioCF bukan sekadar proyek lingkungan, tetapi juga wujud nyata keadilan sosial bagi masyarakat adat yang telah lama menjaga hutan.
 
                                        
 
                                     
                                     
                                     
                                     
                                     
                                     
                                     
                                     
                                     
                                    