Jambi, 13 Oktober 2025 – Pemerintah Provinsi Jambi kembali menegaskan komitmennya dalam memperkuat peran Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha (TJSLBU/CSR) sebagai instrumen penting dalam pembangunan berkelanjutan dan penurunan emisi. Melalui kegiatan yang difasilitasi oleh Bappeda Provinsi Jambi, berbagai pemangku kepentingan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga sektor swasta berkumpul untuk menyelaraskan arah program CSR dengan prioritas pembangunan daerah.
Dalam sambutannya, Sekretaris Bappeda Provinsi Jambi menyoroti pentingnya peningkatan partisipasi sektor swasta dalam menghasilkan Emission Reduction (ER) dalam kerangka program BioCF ISFL tahun 2025. Sejak memasuki fase Pre-Investment di tahun 2022, Provinsi Jambi telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 82,38 miliar dengan dukungan dari lima perangkat daerah utama: Bappeda, Dinas TPHP, Dinas Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan.
Pertemuan ini secara khusus membahas implementasi program TJSLBU/CSR yang mendukung penurunan emisi dan menampilkan praktik-praktik terbaik (best practices) dalam pengelolaan dana CSR di berbagai daerah. Tujuan utamanya adalah membangun sinergi dan sinkronisasi antara pemerintah dan pelaku usaha agar CSR menjadi bagian integral dalam pembangunan daerah.
Peran Strategis Dinas Sosial dan Forum TJSLBU
Kepala Dinas Sosial Dukcapil Provinsi Jambi, yang diwakili oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial, menegaskan peran Dinas Sosial dalam melakukan pembinaan, pengawasan, serta pengembangan kapasitas badan usaha dalam melaksanakan TJSLBU. Berdasarkan Permensos Nomor 9 Tahun 2020, setiap badan usaha wajib melaporkan kegiatan CSR secara berkala kepada pemerintah, dengan laporan berisi informasi program, anggaran, dan dokumentasi kegiatan.
Pada tahun 2024, berbagai inisiatif telah dijalankan dengan pembiayaan CSR, seperti perbaikan infrastruktur jalan dan pengadaan alat transportasi untuk operasional dinas, menunjukkan kontribusi nyata dunia usaha terhadap pembangunan daerah. Forum TJSLBU Provinsi Jambi juga tengah mengembangkan sistem berbasis web untuk penguatan database dan peningkatan profesionalitas pengurus forum hingga tahun 2027.
Keterlibatan Aktif Kabupaten/Kota
Paparan dari Bappeda Kabupaten Tanjung Jabung Barat mengungkapkan bahwa pelaksanaan TJSLP (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan) telah menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah. Kendati belum seluruhnya terkoordinasi secara optimal, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya agar perusahaan lebih terlibat secara aktif dan terarah. Mulai dari proses musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes) hingga pengusulan program prioritas, perusahaan diarahkan untuk mendanai kegiatan yang tidak dapat ditanggung APBD.
Bappeda Tanjung Jabung Timur juga menekankan pentingnya sinergi antara CSR dan program daerah. Kebijakan CSR mereka, yang tertuang dalam Perda Nomor 13 Tahun 2013, telah diarahkan untuk menyentuh kebutuhan nyata masyarakat, dengan fokus pada penguatan ekonomi, sosial budaya, hingga pembangunan infrastruktur desa.
Diskusi: Tantangan dan Rekomendasi
Forum diskusi yang berlangsung memperlihatkan kesamaan tantangan di berbagai kabupaten/kota, terutama dalam hal pelaporan dan koordinasi dengan perusahaan. Beberapa daerah, seperti Sarolangun dan Batanghari, mengeluhkan kurangnya laporan dari badan usaha serta rendahnya kesadaran sektor swasta dalam mendukung program pemerintah.
Sebagai respons, beberapa strategi dari daerah lain dipaparkan. Kabupaten Tanjung Jabung Barat, misalnya, mendorong komunikasi intensif dan memberikan penghargaan tahunan kepada perusahaan aktif sebagai bentuk apresiasi. Sementara di Tanjung Jabung Timur, komunikasi kepala daerah langsung dengan pimpinan perusahaan dinilai efektif dalam meningkatkan partisipasi.
Langkah ke Depan: Peraturan dan Standarisasi
Sebagai tindak lanjut, Bappeda Provinsi Jambi berencana menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai turunan dari Perda CSR Provinsi. Pergub ini akan mengatur mekanisme koordinasi, peran tim fasilitasi, dan sistem pelaporan yang terintegrasi. Selain itu, akan dilakukan perombakan manajemen Forum CSR Provinsi Jambi untuk meningkatkan efektivitas koordinasi.
Dinas Sosial Provinsi Jambi juga diberi mandat untuk memperkuat pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan CSR di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah daerah pun diminta untuk menyesuaikan peraturan mereka agar sejalan dengan regulasi nasional, khususnya Permensos Nomor 9 Tahun 2020.
Fokus 2025: Peningkatan Sosial dan Lingkungan
Provinsi Jambi berkomitmen untuk mengarahkan dana CSR kepada dua sasaran utama: penurunan emisi karbon dan peningkatan kesejahteraan sosial. Terdapat 12 kategori kelompok masyarakat yang menjadi prioritas penerima manfaat, mulai dari anak-anak rentan, lansia terlantar, penyandang disabilitas, korban bencana, hingga fakir miskin dan komunitas adat terpencil.
CSR tidak lagi sekadar formalitas perusahaan, melainkan menjadi bagian strategis dari pembangunan berkelanjutan. Melalui sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha, Provinsi Jambi berharap dapat mewujudkan pembangunan inklusif, hijau, dan berkelanjutan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
Penutup
Momentum pertemuan ini menjadi langkah awal untuk menyatukan persepsi dan langkah konkret dalam mengintegrasikan CSR ke dalam agenda pembangunan daerah. Sinergi lintas sektor dan regulasi yang kuat diharapkan mampu menjadikan Jambi sebagai contoh implementasi TJSLBU yang sukses dan berkelanjutan di Indonesia.
Jambi, 3–4 September 2025 — Pemerintah Provinsi Jambi melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) menggelar Rapat Koordinasi Penyusunan Emission Reduction Monitoring Report (ERMR) Tahap I untuk Jambi Emission Reduction Program (ERP) periode 2020–2022. Kegiatan ini menjadi momentum penting dalam memastikan kesiapan Provinsi Jambi melangkah menuju pembayaran berbasis hasil (Result-Based Payment/RBP) melalui mekanisme kerja sama dengan World Bank.
Rapat dibuka oleh Ir. H. Sepdinal, ME selaku perwakilan Kepala Bappeda. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa penyusunan ERMR merupakan tahapan strategis dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca di Jambi. ERMR Tahap I mencakup tujuh bab dan lima lampiran yang disusun oleh tim MAR dengan kontribusi lintas bidang, termasuk safeguard, Monev, Benefit Sharing Mechanism (BSM), dan lainnya.
Hingga pertengahan 2025, program BioCarbon Fund (BIOCF) masih berada pada fase pra-investasi dengan fokus memperkuat kelembagaan dan kebijakan. Negosiasi Emission Reduction Payment Agreement (ERPA) dengan World Bank tertunda karena pembaruan dokumen lingkungan, sosial, dan benefit sharing plan (BSP). Meski begitu, realisasi anggaran telah mencapai 77,2% dengan berbagai tantangan operasional di lapangan.
Dalam pembahasan dokumen ERMR, peserta rapat menyoroti pentingnya konsistensi data dengan sumber nasional seperti SignSmart dan IPSDH. Data aktivitas, terutama dari sektor pertanian dan peternakan, diharapkan dapat dilengkapi hingga tahun 2024. Tim teknis menegaskan bahwa seluruh data perubahan tutupan lahan akan disajikan dalam format matriks Excel agar memudahkan proses verifikasi dan menghindari perbedaan data.
Penyusunan BSP kini memasuki tahap finalisasi. Rencana pembagian manfaat mencakup 57% berdasarkan kinerja, 1–1,5% untuk perusahaan sawit sukarela, dan 5% bagi kelompok perhutanan sosial (PS) skala kecil. Diskusi juga menyoroti penentuan lembaga perantara (Lemtara) penyaluran manfaat dengan tiga opsi: tim pansel lokal di bawah Gubernur, lembaga pusat, atau BPDLH.
Tantangan utama terletak pada kelengkapan data penerima manfaat dan validasi lapangan. Untuk mencegah tumpang tindih, dokumen BSP dianjurkan menggunakan satu dokumen safeguard yang telah disetujui sejak 2022.
Program penurunan emisi Jambi menerapkan dua sistem safeguard, yakni OPBP untuk free investment dan ISS untuk result-based payment. Disepakati bahwa tidak perlu membuat dokumen baru, melainkan menyesuaikan panduan yang ada. Sinkronisasi antara BSP dan safeguard menjadi prioritas untuk menghindari konflik implementasi.
Pembahasan juga mencakup proses registrasi karbon di Sistem Registri Nasional (SRN) serta integrasinya dengan Carbon Asset Tracking System (CATS) milik World Bank. Semua entitas, termasuk masyarakat adat dan LSM seperti Warsi, wajib terdaftar di SRN dan memperoleh persetujuan pemerintah pusat. Diskusi menyoroti pentingnya kesiapan regulasi daerah agar mekanisme perdagangan karbon berjalan efektif.
Beragam tantangan masih dihadapi, mulai dari keterbatasan data mikro kelompok PS, perubahan kebijakan tata ruang, hingga sinkronisasi lintas sektor. Pemerintah Provinsi Jambi berkomitmen memperkuat koordinasi dan mempercepat negosiasi ERPA demi mendukung keberlanjutan pembayaran berbasis hasil.
Pembahasan pada Kamis, 4 September 2025, difokuskan pada mekanisme buffer dan risiko reversal mengacu pada SFL Buffer Requirement 2023. Sebesar 15% dari total reduksi emisi akan dialokasikan sebagai buffer account untuk mengantisipasi risiko pengembalian emisi akibat kebakaran, banjir, konflik tenurial, atau deforestasi baru.
Bab 6 ERMR memuat risk assessment, buffer tool, serta narasi keterkaitan dengan Annex 1 safeguard dan non-carbon benefit (NCB). Data baseline, emisi aktual, dan peristiwa besar seperti El Niño, kebakaran gambut, atau konflik izin menjadi komponen utama pelaporan.
Dalam sesi ini, Pak Deddy memaparkan Environmental and Social Due Diligence (ESDD) yang menilai kesesuaian program dengan standar safeguard Bank Dunia untuk periode 2022–2024. Analisis ESDD mencakup risiko lingkungan, kondisi kerja, konservasi keanekaragaman hayati, dan keterlibatan masyarakat adat.
Ketua Safeguard, Ibu Linda, menambahkan bahwa pengawasan dilakukan dua kali setahun dan akan lebih difokuskan pada pengelolaan lahan gambut untuk mencegah kebakaran dan emisi. Sementara Sahru dari tim safeguard melaporkan bahwa dokumen ESDD telah direvisi dan siap diserahkan ke Bank Dunia.
Peserta rapat memberikan berbagai masukan, termasuk pentingnya menilai dampak izin pemanfaatan hutan produksi di bawah 5 hektare, potensi konflik dengan proyek strategis nasional, dan perlunya pemantauan kegiatan rehabilitasi serta konservasi hutan.
Disepakati pula pentingnya rapat lintas bidang secara rutin guna mempercepat penyelesaian isu teknis dan koordinasi dengan kementerian pusat.
Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) menjelaskan pengembangan portal OCM (Online Collaboration Management) untuk pengumpulan data secara real-time oleh seluruh bidang dan penerima manfaat. Penggunaan drone oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga diusulkan guna meningkatkan akurasi pemantauan area rehabilitasi. Semua data akan disimpan minimal selama tujuh tahun sesuai ketentuan perjanjian kerja sama dengan World Bank.
Rapat juga membahas mekanisme pemberian insentif bagi pemilik sawit dalam skema perhutanan sosial. KPH diimbau melakukan pembinaan ketat agar tidak ada pelanggaran penggunaan lahan setelah SK PS diterbitkan.
Isu “jangka benah” sawit menjadi perhatian khusus karena memerlukan solusi lapangan yang realistis dan berkeadilan.
Selain penurunan emisi, Jambi juga menekankan manfaat non-karbon (NCB) seperti peningkatan mata pencaharian lokal, tata kelola hutan yang transparan, dan konservasi keanekaragaman hayati. Data pendukung NCB akan dikumpulkan oleh tim Monev dengan dukungan citra spasial dan laporan lapangan untuk memastikan akurasi klaim capaian.
Rapat koordinasi dua hari ini menghasilkan berbagai kesepakatan penting, mulai dari konsistensi data hingga sinkronisasi dokumen ERMR, BSP, dan safeguard. Dengan sinergi lintas sektor dan dukungan seluruh pemangku kepentingan, Provinsi Jambi menegaskan komitmennya menjadi contoh pelaksanaan program penurunan emisi berbasis hasil di Indonesia.
Langkah-langkah yang telah disepakati diharapkan menjadi fondasi kuat bagi keberlanjutan program BIOCF dan mempercepat tercapainya target low carbon development di Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.
Jambi, 1–2 September 2025 — Direktorat IGRK MPV bersama Bidang Monitoring, Assessment, and Reporting (MAR) BioCF-ISFL Provinsi Jambi menyelenggarakan rapat koordinasi dua hari yang membahas progres kegiatan, penyempurnaan sistem, serta penguatan kapasitas dalam mendukung implementasi penuh Program BioCF-ISFL di Provinsi Jambi.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah daerah, lembaga teknis, akademisi, dan mitra pembangunan. Rapat dibagi ke dalam beberapa sesi dengan topik yang mencakup pembaruan progres IGRK & MAR, penyusunan peta penutupan lahan, revisi SOP, sistem deteksi dini deforestasi, hingga optimalisasi portal informasi BioCF ISFL Jambi.
Dalam sesi pembuka, Agustina Kristin Handayani, S.T. memaparkan perkembangan kegiatan IGRK & MAR di bawah kerangka Program BioCF-ISFL. Ia menegaskan bahwa MAR memiliki peran penting dalam memastikan akurasi data emisi, monitoring intervensi, serta pelaporan capaian penurunan emisi berbasis skema REDD+.
Program ini berfokus pada penghitungan emisi, penguatan sistem MRV (Measurement, Reporting, Verification), serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas di tingkat daerah. Tahapan menuju implementasi penuh sistem MAR mencakup persiapan, uji coba, evaluasi, dan implementasi penuh di seluruh wilayah intervensi BioCF ISFL Jambi.
“Progres implementasi MAR telah berjalan sesuai rencana, namun perlu percepatan pada aspek penguatan kelembagaan dan integrasi data lintas instansi,” ujarnya. Dukungan antarlembaga, baik pusat maupun daerah, menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan penuh sistem MAR yang direncanakan bertahap hingga 2026.
Selanjutnya, Tantri Janiatri, S.Hut. menyampaikan hasil progres penyusunan dokumentasi peningkatan akurasi peta penutupan lahan Provinsi Jambi. Kegiatan dilakukan melalui tiga tahap Quality Control (QC) di Bogor dan Jambi antara April hingga Juni 2025.
Proses validasi yang melibatkan observasi hingga 100% sampel berhasil meningkatkan akurasi data penutupan lahan dengan tingkat konsistensi mencapai 99% pada tahun 2022. “Data ini kini layak menjadi dasar perencanaan pembangunan rendah emisi di Jambi,” ujar Tantri.
Dokumentasi yang dihasilkan akan menjadi referensi penting bagi pelaksanaan program BioCF ISFL dan REDD+. Untuk tahap berikutnya, penyusunan buku dokumentasi yang lebih sistematis akan dilakukan dengan dukungan tim MAR dan IPSDH.
Dalam sesi berikutnya, Dr. Asnelly Ridha Daulay, M.Nat.Res., Ecs menekankan perlunya revisi dan pembaruan Standard Operating Procedure (SOP) bidang MAR. Revisi tersebut menyesuaikan metode pengukuran cadangan karbon berdasarkan NFI versi 2 yang dikembangkan IPSDH.
Ia juga menekankan pentingnya dokumentasi implementasi SOP sebagai bukti pelaksanaan di lapangan serta legalisasi dokumen melalui SK Sekretaris Daerah agar memiliki kekuatan formal bagi seluruh OPD terkait.
Selain itu, frekuensi pelaporan kegiatan monitoring seperti pengamatan kebakaran dan deforestasi disepakati dilakukan minimal bulanan, dengan pemantauan hotspot harian selama musim kemarau.
Latifah, S.T., M.T. memaparkan rencana kerja bidang MAR untuk 2025–2026. Fokus kegiatan tahun 2025 mencakup implementasi penuh MAR, perbaikan data penutupan lahan (didukung GCF), serta penguatan kebijakan satu peta.
Beberapa kegiatan yang tengah berjalan meliputi penyusunan dokumen ERMR 1, data entitas RBP, dan data deteksi dini kebakaran, sementara penyempurnaan SOP dan laporan SRN masih dalam tahap persiapan.
Selain itu, kegiatan plot sampling untuk perbaikan data penutupan lahan dijadwalkan berlangsung November 2025–Januari 2026.
Hari kedua dibuka dengan paparan Dio Wisnu Mulyanda, S.T. mengenai pengembangan Early Detection System deforestasi dan degradasi di Jambi. Ia menjelaskan penggunaan platform Google Earth Engine, serta integrasi sistem GLAD-L (Landsat) dan RADD (Radar Sentinel-1) untuk mendeteksi kehilangan tutupan hutan secara cepat dan akurat.
Kombinasi kedua sistem ini memungkinkan peringatan dini dengan tingkat kepercayaan tinggi, bahkan di wilayah berhutan tropis dengan tutupan awan tebal. Dio juga memperkenalkan sistem deteksi kebakaran berbasis Normalized Burn Ratio (NBR) dan pemanfaatan Avenza Maps untuk navigasi lapangan tanpa internet.
Muhammad Danial Husairi, S.Hut., dan Alif Rahmat Julianda, S.Kom. memaparkan progres dan rencana pengembangan portal biocf.jambiprov.go.id. Sejak dikembangkan pada 2022, portal ini menjadi pusat informasi dan pelaporan data BioCF, mencakup emisi, tutupan hutan, area intervensi, dan pendorong deforestasi.
Meski sudah aktif, portal masih membutuhkan sosialisasi dan optimalisasi. Pengelolaan data dilakukan melalui template Excel dengan pembagian akses publik, privat, dan root untuk menjamin keamanan dan konsistensi data.
Para peserta menekankan pentingnya membuat portal lebih user-friendly dengan tampilan peta yang terstandarisasi, pembaruan berkala, dan integrasi dengan sistem smart patrol di kawasan taman nasional.
Dian Martiyosa, S.T. menyoroti pentingnya ketersediaan data geospasial dasar dan tematik untuk mendukung perhitungan emisi dan integrasi lintas sektor. Ia menjelaskan bahwa BioCF ISFL membutuhkan data yang akurat, mutakhir, dan terintegrasi, meliputi batas administrasi, tutupan hutan, kawasan gambut, hingga data sosial ekonomi.
Namun, masih terdapat tantangan berupa perbedaan metodologi, keterbatasan akses data perizinan, serta belum seragamnya skala data antarinstansi. Ia merekomendasikan pembangunan geoportal terpadu, peningkatan kapasitas SDM, dan pemutakhiran rutin data tematik.
Wilya Eka Sari, SP. menutup sesi dengan pemaparan mengenai kebutuhan tambahan untuk mendukung keberlanjutan program. Agenda meliputi penyusunan timeline kegiatan MAR 2026, kajian carbon accounting untuk yurisdiksi REDD+, finalisasi buku akurasi peta penutupan lahan 2020–2022, serta penunjukan PIC portal data.
Para penanggap memberikan sejumlah rekomendasi, termasuk penguatan kapasitas SDM, standarisasi peta, pengaturan kebijakan berbagi data, serta mekanisme komunikasi publik internal sebelum diteruskan ke sistem pengaduan nasional.
Rapat koordinasi ini berhasil menghasilkan sejumlah kesepakatan strategis. Para peserta sepakat untuk:
Mempercepat implementasi penuh sistem MAR.
Menyempurnakan SOP sesuai metode terbaru.
Mengoptimalkan portal BioCF sebagai sarana transparansi dan pelaporan digital.
Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan integrasi data geospasial.
Memastikan keberlanjutan program melalui peningkatan kapasitas SDM dan pendanaan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, rapat ini menjadi langkah konkret dalam memperkuat sistem Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) di Provinsi Jambi. Melalui sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan mitra pembangunan, implementasi BioCF ISFL diharapkan tidak hanya mendukung penurunan emisi karbon, tetapi juga memperkuat tata kelola lingkungan yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.
Di balik dinginnya udara Kayu Aro, Kerinci, tersembunyi sebuah danau rawa yang menampung lebih dari sekadar air dan burung-burung endemik: Rawa Bento, dan kisah perubahan yang luar biasa.
Beberapa tahun silam, Rawa Bento dikenal bukan karena keindahannya, tetapi karena sunyinya yang sering dinodai aktivitas ilegal. Perburuan burung dan peracunan ikan adalah pemandangan lumrah—sebuah ironi di tengah lanskap alam yang mestinya dilestarikan.
Namun semuanya mulai berubah ketika sekelompok pemuda lokal mengambil inisiatif. Mereka membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Rawa Bento, dengan semangat melindungi alam sembari membuka peluang ekonomi baru bagi warga sekitar. Dengan dukungan dari Taman Nasional Kerinci Seblat, kelompok ini mulai menata kawasan rawa menjadi tujuan wisata berbasis konservasi.
Pada awalnya, mereka hanya memiliki perahu dayung untuk mengantar wisatawan menyusuri danau. Jumlah pengunjung pun sangat terbatas. Promosi dilakukan seadanya: cukup dengan menyebarkan nomor kontak ke beberapa homestay di kawasan Kayu Aro. Anehnya, justru wisatawan mancanegara yang pertama kali tertarik datang. Mereka mencari keheningan, kealamian, dan pengalaman yang otentik—semuanya ada di Rawa Bento.
Namun titik balik datang pada tahun 2021. Melalui program BioCarbon Fund (BioCF), kelompok ini mendapat bantuan dua unit perahu mesin. Akses menjadi lebih mudah, pengalaman wisata pun semakin nyaman. Pada saat yang sama, mereka mulai aktif menggunakan media sosial untuk memperkenalkan Rawa Bento kepada masyarakat luas.
Hasilnya luar biasa. Dari yang semula hanya 2 hingga 3 pengunjung per minggu, kini Rawa Bento menerima rata-rata 70 wisatawan setiap minggu. Tak hanya turis asing, kini wisatawan lokal pun mulai berdatangan, tertarik oleh keindahan rawa yang juga dikenal sebagai habitat burung-burung liar langka.
Lebih dari sekadar wisata, kehadiran Pokdarwis Rawa Bento telah menciptakan efek domino positif: praktik-praktik merusak lingkungan menghilang, masyarakat mendapat penghasilan tambahan, dan kesadaran akan pentingnya konservasi meningkat.
Rawa Bento hari ini adalah bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Dari dayung yang perlahan melaju di atas air tenang, menuju suara mesin yang mengantar harapan.
Di lereng-lereng hijau Desa Jangkat, Merangin, pagi datang bersama embun yang menempel di daun-daun muda kopi dan kayu manis. Angin membawa aroma tanah basah dan harapan yang perlahan mulai tumbuh bersama ribuan bibit yang kini menghiasi ladang-ladang petani.
Dulu, petani di desa ini terbiasa berjalan jauh ke dalam hutan untuk mencari bibit. Kalau tidak beruntung, mereka harus membeli dengan harga tinggi—sebuah beban tambahan di tengah tantangan hidup dari tanah yang sering kali tak cukup subur karena terbatasnya pupuk dan perawatan. Namun, semuanya mulai berubah sejak KPHP Merangin hadir membawa program rehabilitasi melalui dana BioCF ISFL.
Pada tahun 2024, sebanyak 25.000 bibit diturunkan ke Desa Jangkat. Bibit-bibit itu terdiri dari kopi, kayu manis, alpukat, dan beberapa komoditas lainnya. Bantuan ini tidak sekadar angka di atas kertas; ia hadir dalam bentuk tanaman muda yang kini menghijaukan lahan-lahan masyarakat.
“Dulu kami harus ambil bibit dari hutan, itu pun belum tentu tumbuh baik. Sekarang kami punya bibit unggul, gratis, dan ada pupuk juga,” ujar salah satu petani sambil membersihkan rumput liar di sekitar tanaman kopinya yang baru berumur dua bulan.
Program ini ditujukan bagi petani yang memiliki lahan maksimal dua hektar, dengan total luas distribusi bibit di satu desa tidak melebihi 50 hektar. Pendekatan ini tidak hanya mendukung petani kecil, tetapi juga menjaga keseimbangan agar rehabilitasi berjalan berkelanjutan dan terkontrol.
Tak hanya bibit dan pupuk, setiap petani yang berpartisipasi juga menerima insentif penanaman senilai Rp2.000.000. Uang ini menjadi penyemangat tambahan, sekaligus membantu memenuhi kebutuhan dasar selama masa awal tanam yang biasanya belum menghasilkan.
Namun, yang paling penting dari semuanya adalah perubahan pola pikir yang perlahan mulai tumbuh bersama tanaman-tanaman muda itu. Jika dulu membuka hutan dianggap satu-satunya jalan untuk memperluas lahan dan meningkatkan hasil, kini para petani mulai sadar bahwa menjaga hutan sambil meningkatkan produktivitas di lahan yang ada adalah jalan yang lebih bijak.
“Kalau dulu lahan kami kurang hasil, ya buka hutan. Tapi sekarang, cukup rawat yang ada. Tanam bibit bagus, beri pupuk, insya Allah hasilnya lebih baik,” kata petani lainnya, dengan senyum percaya diri yang belum lama ini jarang terlihat.
Desa Jangkat kini menjadi gambaran dari harapan yang menetas dari program yang menyentuh langsung akar persoalan: akses, ekonomi, dan lingkungan. Perlahan, desa ini menanam lebih dari sekadar pohon—mereka menanam masa depan.
Desa Renah, Kabupaten Bungo – Di tengah perkebunan sawit yang menghijau di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkoang, sebuah koperasi tani menjadi simbol transformasi pertanian berkelanjutan. Koperasi Unit Desa (KUD) Jaya Indah Bersama, yang berlokasi di Desa Renah, kini tak hanya menjadi tempat berkumpulnya para petani, tapi juga pusat penggerak perubahan melalui penerapan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Dengan total 317 anggota, koperasi ini telah membawa 100 petaninya menuju era baru dalam pengelolaan kebun sawit. Mereka adalah bagian dari kelompok petani mandiri yang kini telah mengantongi sertifikat ISPO — sebuah tonggak penting yang menjamin praktik pertanian mereka memenuhi standar keberlanjutan nasional.
Harga Lebih Baik, Hidup Lebih LayakSertifikasi ISPO bukan hanya tentang dokumen di atas kertas. Manfaat nyatanya dirasakan langsung oleh petani. Sebelum tersertifikasi, para anggota KUD Jaya Indah Bersama hanya bisa menjual Tandan Buah Segar (TBS) ke tengkulak atau pengepul dengan harga swadaya yang lebih rendah. Kini, dengan adanya sertifikasi, koperasi memiliki akses untuk menjual TBS ke mitra perusahaan besar dengan harga acuan dari Dinas Perkebunan (Disbun) — sebuah lompatan signifikan dalam meningkatkan pendapatan petani.
Selisih harga antara sawit bersertifikat dan non-sertifikat bisa mencapai Rp. 400 hingga Rp. 500 per kilogram, angka yang sangat berarti bagi petani kecil. Dengan panen yang dilakukan setiap 15 hingga 20 hari, dan hasil antara 3 hingga 7 ton per anggota, kenaikan harga ini berdampak langsung terhadap kesejahteraan keluarga petani.
Sistem yang Lebih TertataProses pengumpulan sawit kini dilakukan secara terorganisir. Setiap anggota menyetorkan hasil panennya ke KUD Jaya Indah Bersama, yang kemudian mengelola penyalurannya ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Meski dikenakan biaya operasional sebesar Rp. 85.000, sistem ini jauh lebih transparan dan menguntungkan dibandingkan menjual secara individu.
Sertifikasi ISPO sendiri berlaku selama lima tahun, namun untuk mempertahankannya, koperasi wajib menjalani audit tahunan. Proses ini memastikan bahwa praktik budidaya sawit tetap mengikuti prinsip keberlanjutan, mulai dari aspek lingkungan, sosial, hingga manajemen usaha.
Tantangan dan HarapanKetua koperasi, dalam wawancara singkat, menyampaikan bahwa perjalanan menuju sertifikasi tidak selalu mudah. “Butuh waktu dan pembinaan untuk mengubah kebiasaan petani, terutama soal pencatatan dan pengelolaan limbah,” ujarnya. Namun, ia optimis bahwa jumlah anggota bersertifikat akan terus bertambah dalam waktu dekat.
Kini, KUD Jaya Indah Bersama bukan hanya tempat berkumpul dan menjual hasil panen, tapi telah menjadi simbol bahwa petani sawit rakyat pun bisa maju dan berdaya saing — asalkan diberi peluang dan pendampingan yang tepat.
Kisah KUD Jaya Indah Bersama adalah bukti nyata bahwa sertifikasi ISPO bukan sekadar formalitas. Ia adalah jembatan menuju pertanian yang lebih adil, ramah lingkungan, dan menguntungkan bagi petani.