Berita
77

Pendataan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Jambi dalam Skema Hibah BioCF Bank Dunia: Membangun Sinergi untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan

Jambi – Provinsi Jambi menjadi salah satu daerah yang mendapatkan Dana Hibah BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL) dari Bank Dunia, menyusul Kalimantan Timur sebagai provinsi pertama penerima dana serupa. Program ini merupakan upaya global untuk mendukung pengurangan emisi berbasis lanskap, pelestarian hutan, serta pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Menurut Ir. H. Sepdinal, M.E, Ketua SNPMU BioCF ISFL Provinsi Jambi, seluruh entitas yang memiliki legalitas dan bergerak di kawasan hutan berpeluang menerima dana berbasis kinerja (Result-Based Payment atau RBP). Namun, posisi Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam skema ini masih memerlukan perhatian khusus, terutama karena sebagian besar belum memiliki dasar legalitas formal atau Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah.

“KAT bisa masuk dalam kelompok kinerja, tapi karena belum berlegalitas, maka penyaluran dananya tidak bisa langsung ke komunitas. Mereka perlu bergabung dengan pengelola kawasan seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) atau Taman Nasional (TN),” jelas Sepdinal.

Dalam kondisi seperti itu, KPH atau TN berkewajiban membantu mendanai dan membina kegiatan KAT yang berada di wilayahnya. Sementara bagi KAT yang tinggal di luar kawasan hutan, peluang bantuan lebih mengarah pada alokasi sosial ekonomi berbasis desa.


Standar dan Prinsip Bank Dunia

Yunasri Basri, dari bidang Safeguard BioCF ISFL Provinsi Jambi, menjelaskan bahwa pelaksanaan BioCF harus mengacu pada Environmental and Social Standards Bank Dunia, yang meliputi penilaian dampak sosial-lingkungan, konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan komunitas adat, serta pelestarian warisan budaya.

Khusus untuk KAT, dasar hukum nasional yang digunakan adalah Permensos No. 9 Tahun 2012 dan Permensos No. 12 Tahun 2015, yang mengelompokkan KAT menjadi tiga kategori:

  1. Kategori 1: komunitas pemburu dan peramu yang hidup berpindah dan minim interaksi dengan dunia luar.

  2. Kategori 2: peladang berpindah yang sudah memiliki interaksi terbatas dengan masyarakat sekitar.

  3. Kategori 3: masyarakat yang sudah menetap dan berprofesi sebagai petani, nelayan, atau berkebun.

Namun, di lapangan masih ditemukan berbagai kendala, mulai dari minimnya data akurat, belum adanya skema penyaluran manfaat yang jelas, hingga ketidakpastian wilayah kelola.


Suara dari Daerah: Kondisi KAT di Kabupaten dan Kota

Setiap kabupaten di Jambi melaporkan kondisi KAT yang beragam.

  • Kabupaten Merangin mencatat 13 kelompok KAT (Suku Anak Dalam/SAD) dengan total 1.267 jiwa. Sebagian besar masih hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tingkat legalitas yang rendah.

  • Kabupaten Sarolangun memiliki 507 KK KAT yang sebagian besar sudah menetap dan memiliki data kependudukan. Bahkan, beberapa anggota SAD telah bekerja di perkebunan, dan ada yang menjadi anggota TNI maupun Polri.

  • Kabupaten Tebo memiliki 1.146 jiwa KAT yang tersebar di sembilan desa. Di sana juga terdapat Suku Talang Mamak, yang sudah menetap dan masuk kategori 3.

  • Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci masih dalam proses klarifikasi, karena sebagian besar masyarakat adatnya adalah petani di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

  • Kabupaten Batanghari, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur juga memiliki kelompok KAT dengan kondisi yang berbeda-beda, dari yang masih nomaden hingga yang sudah mandiri secara ekonomi.

  • Di Kabupaten Muaro Jambi, sebanyak 2.473 jiwa KAT dilaporkan telah menetap dan memiliki pekerjaan tetap.

Selain pemerintah, NGO seperti KKI WARSI, Pundi Sumatera, dan Gita Buana turut berperan aktif dalam mendampingi komunitas-komunitas ini, baik dalam pemberdayaan ekonomi maupun advokasi hak masyarakat adat.


Peran Dinas Sosial: Wali Data dan Pendamping Utama

Hampir semua peserta diskusi menegaskan bahwa Dinas Sosial (Dinsos) menjadi wali data utama KAT di setiap kabupaten/kota. Dinsos bertanggung jawab melakukan pendataan, kategorisasi, dan koordinasi dengan KPH, Taman Nasional, serta lembaga pendamping lainnya.

Yunasri Basri menegaskan,

“SNPMU hanya menerima data yang diberikan oleh Dinsos. Kami tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi atau mengubah data tersebut.”

Dinsos Provinsi Jambi akan bertugas mengoordinasikan seluruh data dari kabupaten/kota, sementara Dinsos Kabupaten menjadi pelaksana lapangan yang berinteraksi langsung dengan komunitas.


Tantangan dan Harapan

Dari berbagai diskusi yang dilakukan, sejumlah tantangan utama muncul:

  • Belum adanya legalitas resmi (SK Gubernur/Bupati) bagi sebagian besar kelompok KAT.

  • Data yang belum lengkap dan belum terpisah berdasarkan kategori serta lokasi (dalam atau luar kawasan hutan).

  • Terbatasnya lahan penghidupan bagi KAT, terutama di wilayah yang seluruhnya sudah berstatus kawasan hutan.

Namun, di tengah tantangan itu, muncul pula berbagai kisah inspiratif. Beberapa anggota SAD di Merangin telah melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Di Tebo, KAT Talang Mamak mulai bekerja sama dengan perusahaan dan NGO dalam menjaga hutan dan mengembangkan usaha ekonomi.


Langkah ke Depan: Sinergi dan Validasi Data

Rapat koordinasi ini menegaskan bahwa pengkategorian KAT tetap berpedoman pada Permensos No. 9 Tahun 2012, dan Dinas Sosial menjadi penanggung jawab utama data. Data perlu diperbarui dan dipisahkan berdasarkan kategori dan lokasi tempat tinggal.

Selain itu, akan dilakukan pertemuan lanjutan dengan melibatkan KPH dan Taman Nasional di masing-masing kabupaten untuk memastikan validasi data KAT. Harapannya, seluruh KAT di Provinsi Jambi dapat terdata dengan baik dan memperoleh manfaat dari program BioCF secara adil dan berkelanjutan.


Penutup

Inisiatif pendataan dan penguatan peran KAT dalam program BioCF ISFL bukan hanya soal menyalurkan bantuan, tetapi juga memastikan bahwa komunitas adat dan masyarakat hutan mendapatkan tempat yang setara dalam pembangunan berkelanjutan.

Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga konservasi, dan organisasi masyarakat sipil, Jambi berupaya menjadikan program BioCF bukan sekadar proyek lingkungan, tetapi juga wujud nyata keadilan sosial bagi masyarakat adat yang telah lama menjaga hutan.