 
                         
                                Di pagi yang sejuk di Desa Laman Panjang, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, wangi kopi segar menyeruak dari rumah-rumah petani. Aroma yang dulu hanya dinikmati saat panen dan tak pernah keluar dari bentuk gabah, kini menjelma dalam kemasan berlabel rapi: Kopi Desa Laman Panjang.
Tak banyak yang menyangka, perubahan besar ini terjadi hanya dalam hitungan bulan.
Dulu, kelompok petani yang tergabung dalam KUPS Kopi Agam Maju Bersama hanya bisa menjual kopi mereka dalam bentuk mentah—gabah yang dikeringkan seadanya, kemudian dibawa ke tengkulak. Dengan harga jual hanya sekitar Rp55.000 per kilogram, hasil panen 2 ton kopi mentah hanya menghasilkan antara Rp20 juta hingga Rp40 juta. Bukan jumlah yang kecil, tapi jauh dari potensi sesungguhnya.
“Waktu itu, kami belum tahu cara mengolah kopi sampai jadi bubuk. Jadi ya, hanya bisa jual apa adanya,” kata Maskur, ketua kelompok petani kopi agam maju bersama dengan nada pasrah yang kini sudah berganti optimisme.
Harapan datang ketika KPHP Bungo hadir lewat program pendanaan BioCarbon Fund (BioCF). Kelompok petani ini mendapat bantuan berupa mesin pengupas kulit kopi hingga mesin roasting serta pelatihan mengolah kopi dari hulu ke hilir. Mesin itu—meski tak sebesar yang dimiliki pabrik besar—menjadi simbol perubahan nasib.
Kini, mereka tak lagi menjual biji kopi mentah. Mereka memanggang, menggiling, lalu mengemas kopi sendiri. Dari biji yang sama, hasilnya jauh berbeda. Satu kilogram kopi bisa menghasilkan sekitar 700 gram bubuk kopi. Jika dijual per bungkus 100 gram dengan harga Rp19.000, pendapatan mereka naik berkali lipat.
Setiap dua minggu, kelompok ini mampu memproduksi 250 bungkus kopi bubuk. Jumlah ini bisa menghasilkan hampir Rp4,75 juta. Dan ini bukan lagi penjualan gabah musiman, melainkan produk yang bisa terus dijual sepanjang tahun.
Lebih dari sekadar keuntungan, perubahan ini memberikan harga diri baru bagi para petani. Mereka kini tahu bahwa kopi mereka bernilai tinggi, dan bahwa mereka mampu mengolahnya sendiri.
“Sekarang, kami tak lagi hanya menanam dan menunggu panen. Kami juga belajar tentang rasa, kualitas, dan cara menjual. Ini bukan sekadar kopi, ini masa depan,” lanjut Maskur dengan bangga.
Dusun Laman Panjang memang terpencil. Tapi dari sini, aroma perubahan mulai menyebar. Dan seperti kopi yang semakin harum setelah dipanggang, semangat para petani pun kini makin menguat—karena mereka tahu, mereka bisa naik kelas.