Jambi, 22 Desember 2025 – Perubahan Iklim kini bukan lagi isu global yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Dampaknya nyata, mulai dari cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, hingga ancaman terhadap sumber penghidupan masyarakat. Di tengah tantangan tersebut, Provinsi Jambi tampil sebagai salah satu daerah yang serius menata langkah menuju pembangunan rendah karbon melalui penguatan tata kelola hutan dan karbon.
Komitmen ini tercermin dalam pengembangan berbagai inisiatif pengendalian emisi gas rumah kaca, mulai dari penguatan arsitektur REDD+, penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), hingga pelaksanaan Program BioCarbon Fund-Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF-ISFL) yang didukung Bank Dunia.
Modal Alam dan Komitmen Daerah
Dengan Ekosistem hutan yang lengkap—mulai dari hutan hujan dataran rendah, pegunungan, hingga kawasan gambut dan mangrove—Jambi memliki posisi strategis dalam upaya penurunan emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Lebih dari 40 persen wilayah provinsi ini masih berupa kawasan hutan, termasuk empat taman nasional yang menjadi habitat satwa kunci Sumatra.
Pemerintah Provinsi Jambi juga dinilai memiliki fondasi kelembagaan yang relatif kuat. Kelembagaan REDD+ telah terbentuk, kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan terus diperkuat, serta skema perhutanan sosial dikembangkan untuk mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
"Upaya menurunkan emisi tidak bisa dilepaskan dari perencanaan pembangunan daerah. Karena itu, aksi iklim harus terintegrasi dengan ekonomi, tata ruang, dan kesejahteraan masyarakat," menjadi salah satu benang merah yang mengemuka dalam berbagai pemaparan.
BioCF-ISFL: Insentif untuk Menjaga Hutan
Melalui Program BioCF-ISFL, Provinsi Jambi menargetkan penurunan emisi hingga 10 juta ton CO2e. Program ini mencakup intervensi di berbagai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), perhutanan sosial, lahan gambut, hingga wilayah non hutan. Tidak hanya fokus pada penurunan emisi, BioCF-ISFL juga diarahkan untuk mendorong kegiatan produktif berkelanjutan seperti agroforestri, pertanian ramah lingkungan, dan restorasi lahan terdegredasi.
Bagi daerah, skema ini menjadi peluang strategis untuk mengaitkan perlindungan lingkungan dengan manfaat ekonomi langsung, sekaligus mendukung target besar Indonesia FOLU Net Sink 2030.
Nesting Karbon, Menyatukan Banyak Inisiatif
Seiring berkembangnya proyek-proyek karbon di tingkat tapak—baik berbasis komunitas, perhutanan sosial, maupun konsesi—tantangan baru pun muncul. Tanpa mekanisme yang jelas, risiko penghitungan ganda, klaim ganda, hingga konflik kepentingan menjadi terelakkan.
Di sinilah nesting karbon menjadi krusial. Nesting adalah mekanisme untuk menyelaraskan proyek-proyek karbon dengan program yurisdiksi provinsi dan kebijakan nasional, sehingga seluruh penurunan emisi dapat dicatat, diverifikasi, dan dimanfaatkan secara sah.
Berbagai pendekatan nesting dibahas, mulai dari integrasi penuh (fully nested), sebagian (parially nested), hingga opsi transisi yang memberi ruang bagi proyek tetap berjalan sambil menyesuaikan baseline dan sistem MRV dengan yurisdiksi.
Standar internasional seperti Plan Vivo menekankan peran petani kecil dan masyarakat sebagai pusat kegiatan, sementara ART-TREES membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan kredit karbon yurisdiksi yang dapat diperdagangkan di pasar sukarela maupun regulasi. Fleksibilitas ini memberi ruang bagi Jambi untuk memilih pendekatan yang paling sesuai dengan karakter wilayahnya.
Masyarakat di Pusat Tata Kelola
Isu penting lainnya adalah bagaimana memastikan masyarakat tidak hanya menjadi objek, tetapi subjek dalam ekonomi karbon. Pendekatan polycentric governance menegaskan bahwa pengambilan keputusan harus melibatkan banyak aktor di berbagai tingkat, dengan masyarakat sebagai titik temu utama.
Prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC), pembagian manfaat yang adil, safeguards sosial dan lingkungan, serta mekanisme pengauan menjadi elemen kunci agar kebijakan karbon tidak menciptakan ketimpangan baru.
"Menjaga hutan harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan," menjadi pesan kuat yang terus ditekankan.
Menuju Pasar Karbon yang Berintegritas
Dengan terbitnya Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon dan aturan turunannya, Indonesia memasuki babak baru pengelolaan emisi. Perdagangan karbon tidak lagi dipandang semata sebagai instrumen lingkungan, tetapi juga sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional.
Bagi Provinsi Jambi, kesiapan memasuki pasar karbon menuntuk kejelasan hak atas karbon, sistem MRV yang kredibel, serta koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah. Tantangan tersebut sekaligus membuka peluang untuk menjadikan Jambi sebagai model nasional tata kelola karbon berintegritas.
Ke depan, keberhasilan Jambi tidak hanya diukur dari besarnya emisi yang diturunkan atau nilai karbon yang diperdagangkan, tetapi dari kemampuannya menyeimbangkan perlindungan hituan, kesejahteraan masyarakat, dan pertumbuhan ekonom hijau yang berkalnjutan.