Hutan Indonesia adalah salah satu anugerah alam yang tidak ternilai harganya. Di dalamnya tersimpan tidak hanya kekayaan ekologi yang menjaga keseimbangan bumi, tetapi juga potensi ekonomi yang luar biasa. Tak terkecuali di hutan di wilayah Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Unit VIII Hilir Sarolangun, Provinsi Jambi, yang mengelola hutan seluas 110.372 hektare. Wilayah ini terdiri dari berbagai jenis tutupan lahan, termasuk hutan sekunder yang sempat mengalami penurunan luas sebesar 8.576 hektare (7,77 persen) antara tahun 2000 hingga 2019. Untuk mengatasi penurunan jumlah tutupan dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi masyarakat sekitar hutan, dapat dilakukan salah satunya dengan mengoptimalkan keberadaan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
HHBK ini menjadi peluang besar bagi masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan. Pengelolaan HHBK di wilayah ini pun bisa menjadi salah satu contoh nyata bahwa hutan Indonesia tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi juga berbagai produk bernilai ekonomi tinggi yang mampu mengangkat perekonomian masyarakat sekitar dan menambah devisa negara. Keanekaragaman HHBK di wilayah Sarolangun mencakup produk-produk seperti minyak kepayang, madu hutan, garam gunung, kembang semangkok, rotan, bambu, serai wangi, dan minyak sengkawang. Setiap produk ini memiliki nilai tersendiri, baik sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat lokal maupun sebagai simbol kekayaan alam Indonesia yang harus dijaga. Salah satu unggulannya adalah minyak kepayang, yang dikenal sebagai minyak goreng tanpa kolesterol, kaya omega-3 alami, dan bebas pestisida. Selain itu, minyak ini diolah menjadi produk turunan seperti sabun, lotion, dan minyak urut "Kepayang Message," yang membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat.
Selain kepayang, masyarakat lokal juga memproduksi garam gunung dari air asin alami yang kaya yodium. Meski masih menggunakan metode tradisional, garam ini telah dipasarkan hingga Pulau Jawa. Dukungan teknologi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas produksinya. Pemanfaatan madu hutan dari lebah Apis dorsata di kawasan ini juga mendukung keberlanjutan ekosistem. Madu hutan yang dipanen secara lestari telah menjadi produk unggulan dengan kualitas yang tinggi. Rotan dan bambu turut berkontribusi melalui berbagai kerajinan tangan hasil kelompok tani hutan, seperti tikar dan miniatur kapal pesiar. Usaha ini melibatkan ibu rumah tangga, sekaligus menjaga kelestarian hutan. Serai wangi dan minyak sengkawang menjadi komoditas lain dengan nilai ekonomi tinggi. Serai wangi diolah menjadi minyak atsiri untuk produk kecantikan, sedangkan minyak sengkawang dijual dengan harga tinggi, mencerminkan keanekaragaman potensi hutan Indonesia yang mendukung ekonomi berkelanjutan.
Namun, keberhasilan pengelolaan HHBK di Jambi juga memerlukan dukungan berbagai pihak termasuk salah satu inisiatif yang melibatkan KPHP Unit VIII Hilir Sarolangun sebagai unit pelaksana program yakni BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL). Program yang didanai Bank Dunia ini mengupayakan pendekatan komprehensif dalam mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat.
Program BioCF ISFL di Jambi bertujuan untuk mendukung pengelolaan hutan dan lanskap secara berkelanjutan, dengan fokus pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, sekaligus meningkatkan mata pencaharian masyarakat. Dalam konteks pengelolaan HHBK di KPHP Hilir Sarolangun, program ini bisa menjadi contoh konkret terkait pelibatan berbagai pihak untuk mewujudkan inisiatif positif, misalnya dari sisi adanya pendampingan teknis dan pelatihan untuk masyarakat lokal. Program ini menyediakan pelatihan kepada masyarakat lokal untuk meningkatkan kualitas produk HHBK, seperti minyak kepayang, madu hutan, dan rotan. Pendampingan ini mencakup teknik produksi berkelanjutan, pengemasan, hingga strategi pemasaran.
Selain itu, ada dukungan infrastruktur dan transfer teknologi dimana program yang melibatkan KLHK sebagai Komisi Teknis Nasional ini membantu meningkatkan efisiensi produksi, dari sisi penyediaan alat-alat modern untuk penyulingan minyak atsiri, teknologi pengolahan madu, dan pengolahan garam gunung. Dengan teknologi ini, masyarakat mampu meningkatkan hasil produksi dan kualitas produk. Melalui program ini pula berbagai produk HHBK dari Jambi, seperti madu hutan dan minyak kepayang, telah diperkenalkan ke pasar nasional dan internasional. Misalnya, madu hutan dari kawasan ini sempat dipamerkan dalam ajang-ajang pameran produk kehutanan. Kelompok tani hutan di wilayah ini juga menerima pelatihan manajemen usaha, sehingga mereka mampu menjalankan usaha HHBK secara lebih profesional dan berkelanjutan.
Melalui program ini juga ada edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Pendekatan ini memastikan bahwa pemanfaatan HHBK dilakukan tanpa merusak ekosistem, seperti melalui teknik panen madu yang lestari. Program-program serupa ini ke depan perlu lebih banyak dikembangkan sebagai bentuk nyata kolaborasi pemerintah dan mitra pembangunan dalam mengimplementasikan intervensi strategis untuk mendukung HHBK. Ke depan juga sudah saatnya dikembangkan perencanaan lanskap berbasis data sebab pemetaan potensi HHBK yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi geospasial dapat lebih presisi dalam menentukan wilayah prioritas pengembangan HHBK yang lestari. Berbagai program inisiatif pengurangan emisi juga harus diarahkan untuk mendorong investasi hijau melalui kemitraan dengan sektor swasta, seperti perusahaan yang membeli produk HHBK langsung dari petani atau kelompok tani hutan.
HHBK juga harus diintegrasikan dalam strategi mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi karbon dari deforestasi, yang juga memberi manfaat tambahan berupa insentif keuangan kepada masyarakat lokal. Keberhasilan intervensi melalui program-program pengurangan emisi di hutan Jambi pada akhirnya akan terlihat dari berbagai parameter penting di antaranya meningkatnya kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Dengan meningkatnya pendapatan dari HHBK, masyarakat tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mengakses pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik.
Selain itu, pendekatan yang mengintegrasikan pengelolaan lanskap hutan dan pengembangan ekonomi akan menjadi bukti efektivitas program dalam menekan laju deforestasi dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Maka ke depan diharapkan hutan Jambi bisa memberikan contoh konkret bahwa potensi HHBK dapat dikembangkan sebagai motor penggerak ekonomi yang sejalan dengan pelestarian lingkungan.
Saat ini dunia menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, memiliki tanggung jawab besar dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan melestarikan sumber daya alamnya. Salah satu inisiatif yang memberikan harapan bagi masa depan pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF-ISFL) yang diimplementasikan di Jambi.
BioCF-ISFL merupakan salah satu program dari Bank Dunia yang bertujuan untuk mendukung pengelolaan lahan hutan secara berkelanjutan dengan pendekatan yang holistik. Program ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi lahan, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Inilah mengapa program ini sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jambi dipilih sebagai lokasi pelaksanaan program karena provinsi ini memiliki kekayaan hutan yang menjadi salah satu penopang utama ekosistem Sumatera. Namun, lahan di provinsi ini juga menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) akibat deforestasi dan degradasi hutan. Melalui program ini, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebanyak mungkin, sebuah langkah yang tidak hanya berdampak pada lingkungan lokal tetapi juga global.
Fase PelaksanaanPelaksanaan proyek ini dibagi dalam beberapa fase, dengan fase pra-investasi yang berlangsung pada 2021--2025 menjadi langkah awal penting. Dalam fase ini, dilakukan berbagai intervensi penting untuk memperkuat kelembagaan dan kebijakan terkait pengelolaan lahan berkelanjutan. Tujuannya jelas, yakni untuk mendorong perubahan pada tingkat kebijakan dan penerapan di lapangan agar lebih selaras dengan upaya pengurangan emisi. Salah satu indikator keberhasilan program ini adalah luas lahan yang dikelola secara berkelanjutan.
Pada semester pertama 2024, tercatat 268.630 hektare lahan di Jambi sudah dikelola dengan pendekatan yang berorientasi pada pengurangan emisi. Meski angka ini belum mencapai target akhir 2025, pencapaian ini menunjukkan bahwa upaya pengelolaan lanskap di Provinsi Jambi sudah berada di jalur yang benar. Pengelolaan ini mencakup reboisasi, restorasi lahan, serta pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk sektor swasta. Namun, pelaksanaan proyek ini bukan tanpa tantangan. Masalah tenurial, konflik penggunaan lahan, serta kebakaran hutan masih menjadi tantangan yang perlu diatasi.
Salah satu solusi yang diusulkan dalam laporan adalah penerapan kerangka pengaman sosial dan lingkungan, serta mekanisme resolusi konflik yang berbasis peta. Langkah-langkah ini, meskipun kompleks, diharapkan mampu meredakan konflik kepemilikan lahan yang kerap menjadi sumber masalah deforestasi. Di sisi lain, program ini juga harus memastikan bahwa mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing plan) berjalan dengan baik. Melalui mekanisme ini, Pemerintah berusaha memastikan bahwa manfaat dari pengurangan emisi tidak hanya dirasakan oleh Pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat lokal yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Partisipasi aktif dari masyarakat sekitar hutan dan kawasan konservasi menjadi kunci keberhasilan program ini. Satu hal yang patut diapresiasi dari pelaksanaan proyek ini adalah keterlibatan sektor swasta dalam penerapan praktik pengelolaan lahan yang lebih berkelanjutan.
Pada semester I 2024, terdapat 11 perusahaan dari sektor perkebunan yang telah berkomitmen untuk mendukung program pengurangan emisi di Provinsi Jambi. Kolaborasi antara Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat ini diharapkan dapat mempercepat tercapainya target pengurangan emisi di provinsi tersebut. Tidak hanya itu, pemerintah juga mendorong perusahaan untuk memanfaatkan forum CSR (corporate social responsibility) sebagai wadah untuk berkontribusi terhadap program-program lingkungan yang berdampak pada pengurangan emisi. Hal ini menciptakan simbiosis yang saling menguntungkan antara Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.
Menjaga hutanSalah satu keunggulan dari program BioCF-ISFL di Jambi adalah pendekatannya yang integratif. Program ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, masyarakat lokal, serta sektor swasta, untuk bekerja sama dalam mengelola sumber daya alam secara bijaksana. Hal ini menunjukkan bahwa pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat tidak perlu dipandang sebagai dua hal yang bertentangan. Sebaliknya, keduanya bisa saling melengkapi. Program ini pada intinya memberikan insentif kepada masyarakat setempat untuk menjaga hutan, sambil mendorong mereka untuk mengembangkan mata pencaharian yang ramah lingkungan. Misalnya, petani diajarkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan yang tidak merusak hutan, seperti agroforestry dan budi daya tanaman bernilai ekonomi tinggi tanpa harus membuka lahan baru. Hal ini tidak hanya mengurangi tekanan terhadap hutan, tetapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat.
Salah satu tujuan utama dari program ini adalah mengurangi emisi karbon yang berasal dari deforestasi dan degradasi lahan. Hutan tropis di Indonesia, termasuk di Jambi, memiliki potensi besar sebagai penyerap karbon alami. Dengan menjaga hutan tetap utuh, pengurangan jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer dapat dilakukan sekaligus membantu menstabilkan perubahan iklim global. Dalam praktiknya, upaya ini bukan hanya soal penurunan emisi. Program BioCF-ISFL juga memberikan contoh nyata bahwa pembangunan berkelanjutan tidak harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, melalui pendekatan ekonomi hijau, bisa menciptakan peluang baru bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan.Dari ekowisata hingga perdagangan karbon, berbagai peluang ekonomi baru bisa terbuka jika semua menjaga ekosistem tetap sehat.
Implementasi program BioCF-ISFL di Jambi ke depan diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi provinsi-provinsi lain di Indonesia yang juga memiliki masalah serupa dalam hal pengelolaan hutan dan lahan. Pendekatan kolaboratif, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, adalah kunci keberhasilan program ini. Dengan demikian, pemerintah daerah lainnya dapat belajar dari pengalaman Jambi dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada pelestarian lingkungan. Di sisi lain, masyarakat di seluruh Indonesia bisa mulai lebih sadar akan pentingnya peran hutan dalam menjaga keseimbangan ekologi dan iklim. Semakin banyak orang yang memahami pentingnya menjaga hutan, kian besar pula dukungan terhadap upaya-upaya konservasi di seluruh negeri. Sebab, inisiatif ini sejatinya bukan sekadar proyek lingkungan, melainkan bukti nyata bahwa pembangunan berkelanjutan bisa dicapai melalui kerja sama yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Lebih dari itu, program ini menjadi wadah bagi Jambi untuk bersama menyadari berpikir lebih luas tentang bagaimana semua bisa hidup harmonis dengan alam tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Keberhasilan program ini, kelak di Jambi dapat menjadi fondasi bagi Indonesia dalam mencapai target-target iklim global sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan. Dalam beberapa tahun ke depan, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa perubahan kebijakan dan praktik di lapangan dapat berjalan secara berkelanjutan. Reformasi kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan harus didorong lebih lanjut, tidak hanya di tingkat provinsi tetapi juga di level kabupaten dan kota. Pelaksanaan kebijakan Satu Peta di Provinsi Jambi juga harus dipercepat. Sinkronisasi data geospasial di berbagai tingkat pemerintahan akan membantu mengurangi tumpang tindih penggunaan lahan yang sering kali menjadi sumber konflik. Pemerintah Provinsi Jambi, dengan dukungan dari Pemerintah Pusat dan LSM, harus memastikan bahwa semua pihak dapat mengakses dan memanfaatkan data ini secara transparan.
Proyek BioCF ISFL ini menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor sangat penting dalam upaya pengelolaan lanskap berkelanjutan. Pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan akademisi harus terus bekerja bersama untuk mencapai target emisi yang telah ditetapkan. Tidak hanya untuk kepentingan lokal, tetapi juga sebagai kontribusi Indonesia dalam menjaga keseimbangan iklim global.
Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) di Provinsi Jambi merupakan salah satu kawasan hutan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati dan menjadi rumah bagi komunitas Suku Anak Dalam, juga dikenal sebagai Orang Rimba. Hutan ini tidak hanya menyediakan habitat bagi flora dan fauna, tetapi juga menjadi ruang hidup dan penghidupan bagi masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, TNBD menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian hutan dan ekosistem. Aktivitas seperti perburuan satwa liar oleh oknum tak bertanggung jawab, penebangan liar, perambahan hutan, dan konversi lahan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan hutan ini.
Selain itu, tekanan modernisasi dan perubahan sosial mengancam keberlangsungan budaya dan mata pencaharian tradisional Suku Anak Dalam. Untuk mengatasi tantangan tersebut, berbagai inisiatif konservasi dan pemberdayaan masyarakat telah dilaksanakan. Salah satunya adalah pengenalan teknik agroforestri, yang mengintegrasikan praktik pertanian dengan konservasi hutan. Melalui pendekatan ini, masyarakat diajak untuk menanam tanaman bernilai ekonomi seperti karet, kopi, dan tanaman obat di bawah naungan pohon hutan sehingga dapat meningkatkan pendapatan tanpa merusak ekosistem hutan. Bagi masyarakat Suku Anak Dalam juga diberikan bantuan bibit multipurpose tree species (MPTS) dan buah-buahan termasuk petai, jengkol, kabau sebagai bagian dari program pemulihan ekosistem.
Selain itu, program pemberdayaan ekonomi berbasis hasil hutan nonkayu telah dikembangkan. Masyarakat didorong untuk mengelola dan memasarkan produk seperti madu hutan, rotan, dan kerajinan tangan yang memiliki nilai jual tinggi. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga mendorong pelestarian hutan karena masyarakat memiliki insentif langsung untuk menjaga kelestarian sumber daya alam mereka. Peran Suku Anak Dalam dalam konservasi hutan sangat krusial. Mereka memiliki pengetahuan tradisional yang mendalam tentang ekosistem hutan dan praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Namun, marginalisasi dan tekanan eksternal telah mengancam keberlangsungan budaya dan pengetahuan mereka. Oleh karena itu, upaya konservasi harus menghormati dan mengintegrasikan kearifan lokal Suku Anak Dalam. Salah satu contoh inisiatif yang melibatkan Suku Anak Dalam adalah program pendidikan berbasis budaya. Program ini mengintegrasikan pengetahuan tradisional dengan kurikulum formal sehingga generasi muda dapat memahami pentingnya konservasi hutan dan budaya mereka. Selain itu, pelatihan keterampilan seperti pembuatan kerajinan tangan dan pengolahan hasil hutan nonkayu diberikan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi mereka. Kolaborasi antara Pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat lokal sangat penting dalam upaya konservasi TNBD.
Inisiatif pelestarianBerbagai program pelestarian hutan telah terimplementasikan dengan berbagai hasil yang dapat menjadi bahan pembelajaran. Salah satu yang masih dalam proses implementasi di antaranya Program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL). Program ini adalah salah satu contoh inisiatif yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui perlindungan hutan dan reboisasi. Program ini difasilitasi oleh dana multilateral dan didukung oleh negara donor seperti Jerman, Norwegia, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat, yang dikelola oleh Bank Dunia. Kegiatannya terdiri dari tiga fase: persiapan, pra-investasi, dan pembayaran berbasis hasil.
Implementasi program seperti BioCF ISFL di TNBD melibatkan berbagai pihak, termasuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Balai Taman Nasional. Kegiatan prainvestasi difokuskan di empat KPH, yaitu KPH Hilir Sarolangun, KPH Bungo, KPH Tanjung Jabung Barat, dan KPH Merangin, serta empat Balai Taman Nasional, yaitu Taman Nasional Kerinci Sebelat, Berbak Sembilang, Bukit Dua Belas, dan Bukit Tiga Puluh, ditambah dengan Balai KSDA Jambi. Program ini tidak sekadar upaya pelestarian hutan, tetapi juga dirancang untuk memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Inisiatif ini adalah langkah nyata untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, sembari mengurangi emisi karbon dan memulihkan ekosistem yang terancam.
Tujuan utama dari program BioCF ISFL di Taman Nasional Bukit Dua Belas adalah untuk melindungi hutan dan memulihkan ekosistem yang rusak, sekaligus menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat sekitar Tantangan implementasi yang dihadapi di awal adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini masih bergantung pada pemanfaatan hutan secara ekstraktif, seperti penebangan pohon atau perburuan satwa liar. Tentu saja, diperlukan waktu untuk membangun kepercayaan dan mengedukasi mereka tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Namun, dengan pendekatan yang tepat, perlahan dapat dibangun kesadaran konservasi hutan dan peningkatan ekonomi masyarakat bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan bisa berjalan seiring.
Program ini diawali dengan upaya melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan pemulihan hutan, seperti penanaman pohon, pembuatan persemaian, hingga patroli hutan. Keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap ini tidak hanya meningkatkan rasa kepemilikan mereka terhadap program, tetapi juga membuka peluang baru bagi mereka untuk memperoleh penghasilan dari aktivitas yang lebih berkelanjutan. Salah satu pendekatan utama dalam program ini adalah pengenalan teknik agroforestri kepada masyarakat. Agroforestri merupakan metode yang menggabungkan pertanian dengan pengelolaan hutan, sehingga masyarakat bisa memanfaatkan lahan tanpa merusak hutan. Kelompok-kelompok tani hutan diperkuat dan dibekali pelatihan mengenai teknik budidaya yang ramah lingkungan. Melalui teknik ini, masyarakat dapat menghasilkan produk-produk hutan non-kayu seperti madu hutan, rotan, dan tanaman obat. Produk-produk ini tidak hanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga membantu menjaga kelestarian hutan.
Partisipasi aktif masyarakat sangat penting dalam keberhasilan program ini. Dari pelatihan yang diberikan, banyak dari mereka yang kini mulai beralih dari praktik-praktik yang merusak hutan menuju kegiatan yang lebih berkelanjutan. Dari sisi ekologi, tutupan hutan di kawasan taman nasional diharapkan terus terjaga, dan kerusakan hutan yang dulunya menjadi masalah serius kini bisa mulai ditekan. Salah satu indikator keberhasilan yang paling diharapkan adalah peningkatan keanekaragaman hayati di kawasan ini. Beberapa spesies kunci yang sebelumnya jarang terlihat, seperti harimau dan siamang, diharapkan mulai kembali menghuni kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Karena ini menandakan bahwa ekosistem di kawasan ini mulai pulih dan berfungsi kembali sebagai habitat yang ideal bagi berbagai spesies.
Selain dampak ekologis, program BioCF ISFL juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat sekitar. Melalui pelatihan dan pendampingan yang diberikan, masyarakat kini memiliki sumber penghasilan baru dari produk-produk hutan non-kayu. Salah satu inovasi penting dalam program ini adalah pendirian koperasi lokal yang berfungsi sebagai wadah untuk memfasilitasi pemasaran produk-produk hasil hutan. Dengan adanya koperasi ini, masyarakat tidak hanya memiliki akses ke pasar yang lebih luas, tetapi juga bisa mendapatkan harga yang lebih baik untuk produk-produk mereka. Keberhasilan program konservasi dan pemberdayaan masyarakat di TNBD tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Kolaborasi antara Pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat lokal menjadi kunci dalam menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan pendekatan yang holistik dan partisipatif, diharapkan TNBD dapat menjadi model pengelolaan hutan berkelanjutan yang menghormati kearifan lokal dan memberikan manfaat bagi semua pihak.
Identitas KulturalUpaya konservasi di TNBD juga menghadapi kompleksitas masyarakat adat termasuk harus mempertimbangkan dinamika sosial dan budaya Suku Anak Dalam. Penelitian menunjukkan bahwa identitas kultural mereka sangat erat dengan hutan sebagai sumber kehidupan dan spiritualitas. Oleh karena itu, program konservasi harus menghormati dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya mereka, seperti dalam praktik pernikahan, kelahiran, dan kematian yang terkait dengan kearifan lokal.
Selain itu, penting untuk memahami sejarah marginalisasi yang dialami oleh Suku Anak Dalam, terutama selama era Orde Baru, di mana mereka mengalami tekanan untuk berasimilasi dan kehilangan akses terhadap wilayah adat mereka.Memahami konteks sejarah ini penting untuk merancang program pemberdayaan yang sensitif terhadap kebutuhan dan aspirasi mereka.
Dalam jangka panjang, keberlanjutan TNBD bergantung pada keseimbangan antara konservasi lingkungan dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Pendekatan yang mengintegrasikan konservasi dengan pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan pelestarian budaya akan memastikan bahwa hutan tetap lestari dan masyarakat dapat menikmati manfaatnya secara berkelanjutan. Dengan komitmen bersama dari semua pihak, Taman Nasional Bukit Dua Belas dapat menjadi contoh sukses pengelolaan hutan berkelanjutan yang menghormati kearifan lokal dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang.
*Kepala Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.
Jambi – Provinsi Jambi memiliki potensi sangat besar untuk melaksanakan kegiatan penurunan emisi melalui pengelolaan hutan dan lahan. Mengingat Provinsi Jambi memiliki 4 Taman Nasional, serta 29 hutan adat yang merupakan hutan terbanyak di Indonesia ditambah kawasan Perhutanan Sosial yang tersebar di 10 KPH.
Terkait program Bio Carbon Fund, maka Pemerintah Provinsi Jambi melalui Sub Nasional Manajemen Unit (SNPMU) saat ini sedang melaksanakan kegiatan sosialisasi ke 10 Kabupaten/Kota untuk memberikan gambaran umum tentang pola penetapan dan pengukuran emisi, penetapan dan skema pembagian manfaat dan tata cara penyaluran manfaat serta fungsi safeguard dan standar monev yang akan dilaksanakan dalam pengelolaan dana manfaat nantinya.
Dan pelaksanaan kegiatan lingkup BioCF-ISFL merupakan wujud komitmen Provinsi Jambi dalam ikut berperan aktif melaksanakan penurunan emisi.
“Pemerintah Provinsi Jambi telah berkomitmen dan akan terus mengimplementasikan konsep
REDD+ di Provinsi Jambi yaitu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan konservasi serta cadangan karbon hutan”, tegas Kepala Bappeda Provinsi Jambi yang diwakili oleh Kabid Perekonomian dan Sumber Daya Alam yang juga merupakan wakil ketua SNPMU BioCF Dr.Ahmad Subhan. S.IP. M.Si hari ini (7/10) dalam acara pembukaan sosialisasi BioCF-ISFL yang diikuti oleh jajaran Pemerintah Kabupaten Kerinci.
Lebih jauh Subhan menambahkan bahwa pemerintah provinsi Jambi telah mengintegrasikan Road Map Pertumbuhan Ekonomi Hijau Tahun 2019- 2045 dengan Dokumen Perencanaan RPJMD Provinsi Jambi.
Selain itu juga diperkuat dengan adanya regulasi Provinsi Jambi melalui Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang menunjukkan komitmen kuat Gubernur Jambi dan DPRD Provinsi Jambi.
Agar implementasi REDD+ dalam kerangka Ekonomi Hijau tersebut dirasakannya manfaatnya oleh seluruh masyarakat, maka Provinsi Jambi saat ini sedang melaksanakan program BioCF-ISFL dimana melalui program ini ditargetkan penurunan emisi sebesar 10 juta ton CO2 equivalen dengan disertai Result Based Payment (RBP) atau insentif berbasis kinerja mencapai 70 juta USD.
Ketua bidang monev SNPMU Dharmawansyah SP. MM turut menghimbau semua pihak mendukung pelaksanaan kegiatan lingkup BioCF-ISFL.
“Saya berharap kerjasama dan dukungan semua pihak”, tegas Wawan saat menyampaikan materi sosialisasi tentang monev.
Bupati Kerinci yang diwakilkan Asisten bidang Perekonomian dan Pembangunan H.Atmir,S.E,MM dalam sambutannya menegaskan bahwa pihak Kabupaten Kerinci sangat mendukung kegiatan Bio Carbon Fund dan siap bekerjasama untuk menurunkan emisi dengan memanfaatkan potensi hutan yang ada di wilayah Kabupaten Kerinci.
“Saya berharap melalui program ini masyarakat desa yang ada di sekitar hutan dapat meningkatkan kesejahteraannya”, papar Atmir seusai membuka acara Sosialisasi Fase RBP BioCF yang dilaksanakan di aula kantor BAPPEDA-Litbang Kabupaten Kerinci.
Jambi, 12 Agustus 2024. Saat ini Provinsi Jambi sedang mempersiapkan pengunduhan fase Insentif Berbasis Kinerja Program BioCF ISFL. Salah satu dokumen yang dipersiapkan adalah Benefit Sharing Plan (BSP) yang saat ini sedang dalam proses penyempurnaan khususnya terkait mekanisme penyaluran dana Insentif Berbasis Kinerja Program BioCF ISFL untuk Desa. Kegiatan Pembahasan Mekanisme Penyaluran Dana Insentif Berbasis Kinerja Program BioCF-ISFL untuk Desa Potensi Penerima Manfaat, dibuka oleh Wakil Gubernur Provinsi Jambi, Drs. H. Abdullah Sani, M.Pd.I
Wakil Gubernur menjelaskan, untuk selalu menjaga ekosistem yang dimiliki serta dalam melaksanakan Pembangunan daerah yang berkelanjutan. Maka Pemerintah Provinsi Jambi sudah berupaya dan berkomitmen untuk mengimplementasikan konsep REDD+ di Provinsi Jambi.
“Dengan adanya komitmen kami dalam mewujudkan ekonomi hijau Jambi melalui implementasi REDD+ besar harapan akan memberikan kontribusi positif bagi pencapain target pertumbuhan ekonomi hijau, pertumbuhan pembangunan yang inklusif dan merata, terciptanya ekosistem yang sehat sehingga target pengurangan emisi gas rumah kaca dapat tercapai dan mampu mengatasi dampak perubahan iklim,” lanjut Wakil Gubernur.
Dalam sambutan dan arahannya, Wakil Gubernur juga mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi yang setingi-tingginya kepada seluruh jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia yang telah banyak membantu dan mendukung Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi dalam upaya mendukung aksi mitigasi dan perubahan iklim di Provinsi Jambi.
Bapak Wakil Gubernur juga memaparkan, dalam mempercepat pengunduhan fase RBP maka harus segera memfinalkan Dokumen Benefit Sharing Plan BioCF-ISFL.
“Salah satu penyempurnaan dokumen tersebut perlu menyepakati alur mekanisme pendanaan ke tingkat desa, sehingga diperlukan saran dan masukan dari berbagai pihak serta dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi dan Para Koordinator Pendamping Desa se-Provinsi Jambi dalam menentukan alur mekanisme pendanaan insentif berbasis kinerja Program BioCF-ISFL Provinsi Jambi ke Desa. Semoga fase RBP cepat terlaksana sehingga dana RBP yang telah disepakati dapat diimplementasikan oleh masyarakat sebagai insentif dalam menjaga kawasan hutan dan lahan dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jambi."
Kepala Bappeda Provinsi Jambi, Ir. Agus Sunaryo, M.Si juga selaku Ketua Harian BioCF-ISFL mengatakan bahwa tujuan pelaksanaan-pelasanaan kegiatan ini untuk meningkatkan peran serta para pihak dalam mendukung Program BioCF-ISFL Provinsi Jambi baik fase Pre-Invesetmen maupun Fase RBP Hasil yang telah disepakati dari Kegiatan Pembahasan Mekanisme Penyaluran Dana Insentif Berbasis Kinerja Program BioCF-ISFL untuk Desa Potensi Penerima Manfaat adalah sebagai berikut:
Pemerintah Kabupaten/Kota yang diwakili Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, serta Ketua APDESI Kabupaten/Kota Se-provinsi Jambi Mendukung Program Bio Carbon Fund-Initiative for Sustainable Forest Landscape Provinsi Jambi terutama dalam pelaksanaan tahapan Result Based Payment (Pembayaran Berbasis Hasil Kinerja).
Pemerintah Kabupaten/kota yang menyepakati mekanisema penyaluran dana insentif berbasis kinerja untuk desa potensi penerima manfaat melalui skema Lembaga Perantara adalah Kabupaten Tebo, Muaro Jambi, Batanghari, Kerinci, Bungo, dan Merangin.
APDESI dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang menyepakati mekanisme penyaluran dana insentif berbasis kinerja untuk desa potensi penerima manfaat melalui Transfer Cash Melalui BPDLH adalah Kabupaten Tanjung Jabung barat, Sarolangun dan Kota Sungai Penuh.
APDESI dan Tenaga Pendamping Desa yang menyepakati mekanisme penyaluran dana insentif berbasis kinerja untuk desa potensi penerima manfaat melalui Transfer Cash melalui BPDLH adalah APDESI Provinsi Jambi, Batanghari, Muaro Jambi, Tebo, Merangin dan Bungo.
APDESI dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang menyepakati mekanisme penyaluran dana insentif berbasis kinerja untuk desa potensi penerima manfaat melalui skema Lembaga Perantara adalah Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Hasil kesepakatan tersebut digunakan untuk penyempurnaan dokumen Benefit Sharing Plan dan akan dibahas pada pertemuan di tingkatan yang lebih tinggi baik di tingkat Pemerintah Provinsi Jambi maupun Pemerintah Pusat.
Selasa, 30 Juli 2024
KLHK bersama Pemerintah Provinsi Jambi sedang menegosiasikan draft ERPA dengan World Bank. Namun terdapat klausul Condition of Effectiveness (CoE) perlu dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia antara lain adalah Submission of copies of executed Sub-Project Arrangement(s) between Seller and the Sub-Project Entities required to implement the ISFL ER Program.
Bentuk dan isi dari pengaturan ini memerlukan persiapan dan pencermatan yang mengacu pada ketentuan yang berlaku, antara lain: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22/2020, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 tahun 2020, dan Peraturan Menteri LHK Nomor: 3 tahun 2022 tentang Kerja Sama Dalam Negeri. Tujuan pertemuan ini untuk memutuskan bentuk pengaturan kerja sama antara KLHK dan Pemerintah Provinsi Jambi pada program Jambi Emission Reduction Project.
Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim, DJPPI dengan dukungan dari RBP REDD+ GCF yang dikelola oleh BPDLH telah melaksanakan fasilitasi ke sub nasional (provinsi) untuk sosialisasi terkait penguatan arsitektur REDD+, termasuk penguatan Safeguards REDD+ dan pengisian Alat Penilai Pelaksanaan Safeguards (APPS) dalam website SIS REDD+ Bagi Indonesia, implementasi Safegyards REDD+ merupakan syarat apabila akan mendapatkan RBP baik bilateral maupun multirateral. Sehubungan dengan hal tersebut, Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) Lesson Learned Implementasi REDD+ dan Safeguards SIS-REDD+ Sub Nasional.
Ir. H. Sepdinal, ME selaku Ketua SNPMU Program BioCarbon Fund - Initiative for Sustainable Forest Landscape memberikan Materi dengan Judul "Persiapan Arsitektur dan Implementasi REDD+ (Reducing Emission From Deforestation and Forest Defradation) di Provinsi Jambi", di dalam materinya dijelaskan bagaimana persiapan regulasi yang dilaksanakan pemprov jambi terkait implementasi REDD+, Arsitektur kelembagaan satuan kerja Penururnan Emisi GRK Provinsi Jambi, Exit Strategi Implementasi REDD+ di Provinsi Jambi. serta Hasil dan Produk yang dihasilkan tiap bidang-bidang di Sekretariat SNPMU BioCF-ISFL Provinsi Jambi.
Sehubungan dengan Implementasi Program BioCF=ISFL Provinsi Jambi dimama salah satu rinci kegiatan dan objek dalam program tersebut ada sektor swasta dan kelompok masyarakat, Sektor swasta dan kelompok masyarakat ini nantinya akan menjadi salah satu penerima insentif berbasis kinerja sesuai dengan kriteria manfaat yang telah disepakati, untuk itu dilaksanakannya FGD yang membahas Insentif Berbasis Kinerja untuk Sektor Swasta dan Kelompok Masyarakat, serta penerapan ISPO bagi perusahaan dan petani swadaya serta dukungan terhadap RAD KSB.
Peningkatan Kapasitas Teknis Pelaksanaan Panduan Identifikasi Penerima Manfaat dan Panduan E&S Safeguard BioCF ISFL
BALIKPAPAN - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jambi, Ir. Agus Sunaryo, M.Si dan didampingi Kabid Perekonomian dan Sumber Daya Alam Bappeda Provinsi Jambi,Dr. Ahmad Subhan, S.IP, M.Si dan Ketua Sub-Nasional PMU BioCF-ISFL Jambi, Ir. H. Sepdiinal, ME mengikuti pertemuan South - South Knowledge Exchange, turut berpartisipasi dalam forum diskusi 3 negara seperti Indonesia, Brazil dan Republik Demoktratik Kongo, dimana kegiatan ini difasilitasi oleh World Bank yang berlangsung di Platinum Hotel, Senin 27 Mei 2024.
South - South Knowledge Exchange sendiri merupakan suatu kegiatan pertukaran pengetahuan oleh negara - negara yang berkembang atau bisa juga sebagai negara - negara selatan global. Dalam paparan Ketua Sub-Nasional PMU BioCF-ISFL Jambi, memberikan penjelasan mengenai penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Jambi melalui kegiatan BioCarbon Fund - Initiative for Sustainable Forest Landscape.