Jambi – Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berhasil dalam m engintegrasikan pendekatan pembangunan rendah emisi dengan kebijakan pemanfaatan nilai ekonomi karbon dalam perencanaan dan implementasi pembangunan berkelanjutan, melalui Proyek BioCF-ISFL
Keberhasilan Provinsi Jambi menginspirasi dan memotivasi Kelompok Kerja Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus (REDD+) Provinsi Kalimantan Tengah untuk berkomitmen memperkuat dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Tengah dalam rangka mencapai target pengurangan emisi GRK dan pemanfaatan nilai ekonomi karbon.
Pemerintah Provinsi Jambi mengaskan komitmennya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca melalui implementasi Program BioCF-ISFL yang berlangsung sejak 2022 hingga 2025. Program yang didukung hibah Bank DUnia tersebut menargetkan penurunan emisi hingga 10 juta ton CO2e.
Kepala Bappeda Provinsi Jambi, Ir. Agus Sunaryo, M.Si, menjelaskan bahwa Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan seluas 2,12 juta hektare berdasarkan SK MenLHK No. 6613 Tahun 2021. Kawasan ini mencakup hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi, serta empat taman nasional yaitu Kerinci Seblat, Bukit Dua Belas, Bukit Tigapuluh, dan Berbak. Keberagaman ekosistem-mulai dari pegunungan, dataran rendah, hingga pesisir dan laut-menjadikan Jambi sebagai salah satu wilayan dengan ekosistem terlengkap di Sumatera.
Intervensi KPH dan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Dalam program BioCF, beberapa Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ditetapkan sebagai wilayah Intervensi, di antaranya KPHP Bungo, Merangin, Tanjung Jabung Barat, dan Hilir Sarolangunn
Dinas Kehutanan Provinsi Jambi melalui H. Andri Yushar Andria, S.Hut., M.Si, memaparkan sejumlah kegiatan utama yang telah dilaksanakan, antara lain patroli hutan rutin untuk mencegah illegal logging, patroli kebakaran hutan dan pelatihan Masyarakat Peduli Api (MPA), rehabilitasi gambut dan agroforestry seluas 1.665 hektare, serta fasilitasi penguatan kelembagaan bagi 68 kelompok tani hutan.
Manajemen konflik juga menunjukkan perbaikan signifikan,, dengan jumlah mediasi menurun dari 45 kasus (2002) menjadi 14 kasus (2024). Selain itu, hingga kini telah terbentuk 47 Kelompok Peduli Api di wilayah lahan gambut.
Safeguard REDD+ dan Peran Masyarakat Adat
Dalam sesi pemapar lainnya, Yunasri Basri, S.Pt., M.Si menjelaskan implementasi safeguard REDD+ di Jambi sebagai upaya meminimalkan dampak negatif dan meningkatkan dampak positif bagi masyarakat. Struktur safeguard Provinsi Jambi dikoordinasikan oleh SNPMU Bappeda, meliputi bidang Safeguard, BSM, MAR, Monev, serta Sekretariat.
Safeguard menekankan aspek transparansi tata kelola, partisipasi masyarakat, penghormatan hak masyarakat adat (MHA), konservasi biodiversitas, dan pencegahan kebocoran emisi. Setiap kegiatan wajib dilengkapi dokumen lingkungan, termasuk TOR untuk kegiatan rapat atau pelatihan.
Pendampingan MHA dilakukan bersama tiga kelompok NGO: penyelesaian konflik, pelestarian lingkungan (WALHI & WARSI), serta pendampingan formal pengakuan MHA. Masyarakat adat juga menjadi salah satu penerima manfaat pada tahap Result Based Payment (RBP), sesuai kontribusinya dalam menjaga wilayah adat.
Dalam aspek GESI (Gender Equality & Social Inclusion), setiap proses FPIC mewajibkan hadirnya minimal lima perempuan, dan terdapat program khisis peningkatan kapasitas perempuan dalam kegiatan REDD+
Kerangka MAR dan Penghitungan Emisi
Ketua SNPMU, Ir. H. Sepdinal, ME, mengeaskan bahwa sistem Monitoring, Analysis, and Reporting (MAR) menjadi fondasi utama dalam perhitungan emisi. Bidang MAR, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur No. 150/2022, bertugas memantau perubahan tutupan lahan, menghitung emisi GRK, menentukan baseline, dan melaporjan penurunan emisi ke Sistem Registri Nasional (SRN).
Sistem MAR mengolah data tutupan lahan 2006-2025, memonitor kebakaran, serta melakukan analisis ketidakpastian menggunakan metode Monte Carlo. Datra hasil MAR kemudian disampaikan kepada KPH dan unit tapak untuk mitigasi dini deforestasi maupun kebakaran.
Pendanaan, Pelaporan, dan Distribusi Manfaat
Narahubung Program, Risti Putri, M.Ec.Dev menambahkan bahwa pendanaan BioCF berasal dari APBD dan Lembaga Dana Lingkungan Hidup (Lemtara). Tiga jenis pelaporan wajib disampaikan: pelaporan kinerja kegiatan, pelaporan penurunan emisi berbasis hasil, serta pelaporan lingkungan dan sosial.
Skema Benefit Sharing Mechanism (BSM) akan mendistribusikan kepada pemerintah, KPH, desa, kelompok tani, perusahaan, perhutanan sosial, dan masyarakat adat.
Penyelesaian Konflik Lahan
Di bagian akhir diskusi, Dinas Kehutanan menekankan bahwa konflik lahan merupakan persoalan kompleks yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Konflik umumnya terjadi antara masyarakat dan perushaan pemegang izin, terutama terkait batas wilayah dan pemanfaatan lahan. Penyelesaian dilakukan melalui regulasi, mekanisme FGRM, mediasi multipihak, dan tata kelola yang transparan.
Kesimpulan
Program BioCF-ISFL telah memperkuat kapasitas kelembagaan, tata kelola hutan, serta partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan dukungan berbagai pihak—pemerintah, masyarakat adat, NGO, akademmisi, dan masyarakat desa—Provinsi Jambi optimistis dapat mencapai target penurunan emisi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan hutan.
Program ini tidak hanya menjadi instrumen mitigasi perubahan iklim, tetapi juga mendorong tata kelola hutan yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan bagi masa depan Jambi.